Pengertian dan Urgensi Konsumsi
Konsumsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu to consume
yang berarti memakai atau menghabiskan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata konsumsi
itu diartikan dengan pemakaian barang hasil produksi.
Secara luas konsumsi adalah kegiatan untuk mengurangi
atau menghabiskan nilai guna suatu barang atau jasa, baik secara sekaligus
maupun berangsur-angsur untuk memenuhi kebutuhan. Orang yang memakai,
menghabiskan atau mengurangi kegunaan barang atau jasa disebut konsumen. Dengan
kata lain, konsumen adalah orang yang melakukan kegiatan konsumsi.
Konsumsi bukan hanya
sekedar makan atau minum, tetapi merupakan setiap penggunaan atau pemakaian
barang-barang dan jasa-jasa yang secara langsung dapat memuaskan kebutuhan
seseorang. Objeknya segala macam barang dan jasa yang dapat digunakan untuk
memenuhi atau memuaskan kebutuhan manusia.
Konsumsi memiliki urgensi
yang sangat besar dalam perekonomian, karena tiada kehidupan tanpa konsumsi.
Pengabaian terhadap konsumsi berarti mengabaikan kehidupan sekaligus tugas
dalam kehidupan. Manusia diperintahkan untuk mengkonsumsi pada tingkat yang
layak bagi dirinya, keluarganya dan orang paling dekat di sekitarnya. Manusia
dilarang beribadah secara mutlak tanpa mementingkan kebutuhan jasmani bahkan diperbolehkan
mengkonsumsi makanan yang haram ketika dalam kesulitan.
Perilaku Konsumen
Dalam paradigma ekonomi
konvensional perilaku konsumen
didasari pada prinsip-prinsip dasar utilitarianisme[1] dan rasionalitas semata. Prinsip ini menuntut adanya
perkiraan dan pengetahuan mengenai akibat yang dilakukan. Prinsip ini mendorong konsumen untuk memaksimalkan nilai guna dengan
usaha yang paling minimal dengan melupakan nilai-nilai kemanusian. Akibatnya
tercipta individualisme dan self interest. Maka keseimbangan umum tidak
dapat dicapai dan terjadilah kerusakan dimuka bumi.[2]
Berbeda dengan Islam yang mengingatkan
bahwa harta yang dimiliki manusia adalah titipan Allah, bukan tujuan namun
sarana yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan rohani
sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah
Allah untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat (Q.S Al-Hadid : 7, Hud : 61)
.[3]
Perilaku konsumen Islami
didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan dan mengintegrasikan keyakinan
dan kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas
berdasarkan Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep pemuasan kebutuhan
dibarengi kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya keharmonisan
hubungan antara sesama. [4]
Ekonomi Islam bukan hanya
berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara
cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih
berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah Swt.
- Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari: Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk dan khalifah yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh Pencipta. (QS. Al-An’am : 165). Prinsip ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi harus mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi Islami tersebut, seseorang dituntut untuk menjalankan apa yang sudah diketahui, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram dan syubhat.
- Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat Islam, di antaranya: Sederhana, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa menghamburkan harta, bermewah-mewah, mubazir, namun tidak juga pelit (QS. Al-Isra: 27-29, Al-A’raf:31).Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
- Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: Primer, adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan mengalami kesusahan. Tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia.
- Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya: Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sehingga Islam mewajibkan zakat bagi yang mampu juga menganjurkan sadaqah, infaq dan wakaf. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi baik dalm keluarga atau masyarakat . Tidak membahayakan orang yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok.
- Kaidah lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya atam dan kebertanjutannya atau tidak merusak lingkungan
Manfaat dan Eksploitasinya
Pada dasarnya manfaat dan
mudarat sebuah barang atau jasa adalah semu bukan hakiki karena sangat
dipengaruhi oleh waktu dan tempat juga konsumen sendiri, boleh jadi bermanfaat
bagi seseorang namun mudarat bagi orang lain.
Dalam Islam eksploitasi manfaat
diharuskan proporsional dan profesional. Islam menganjurkan untuk memanfaatkan
barang dan jasa semaksimal mungkin namun pendayagunaan tersebut harus sejalan dengan kondisi
dan keadaan barang dan jasa yang diambil manfaatnya. Sehingga tidak menyebabkan kerusakan atau pencemaran
lingkungan atau kerugian pihak lain. Karena tidak jarang orang yang terlalu berfikir
ekonomis, bahkan ia tidak mau menyisakan sedikitpun peluang untuk tidak ia
gunakan.[6]
Kebutuhan dan Keinginan
Ilmu ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik
sebagai individu maupun masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan
sumber daya guna memenuhi kebutuhan akan
barang dan jasa. Apabila kebutuhan dan
keinginan lebih besar dari persediaan barang dan jasa akan terjadi kelangkaan. Karena keinginan
dan kebutuhan memberi efek yang sama bila tidak terpenuhi, yakni kelangkaan maka ekonomi konvensional tampaknya tidak membedakan antara
kebutuhan dan keinginan.
Islam memiliki nilai moral
yang ketat dalam memasukkan keinginan dalam motif aktifitas ekonomi. Kebutuhan
didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk mempertahankan
kelangsungan hidup. Sementara keinginan didefinisikan sebagai kemauan manusia
atas segala hal. Kebutuhan harus lebih diutamakan daripada keinginan.[7]
Konsep kebutuhan dalam
Islam bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat.
Pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu dikonsumsi akibat motivasi
keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi
kebutuhan. Dengan demikian parameter yang membedakan definisi kebutuhan dan
keinginan tidak bersifat statis, ia bergantung pada kondisi perekonomian serta
ukuran kemashlahatan.
[1] Utilitarianisme merupakan suatu paham etis
yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan
menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tak bermanfaat,
tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan
ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak (http://id.wikipedia.org)
[2] Mustafa
Edwin Nasution, et. Al, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, cet.III , 2010, hal. 61
[3] Wahbah Zuhaily,
Mausû’ah al-
Fiqh al-Islâmî wa
al-Qadhâyâ al-Mu’âsharah, Vol. IV, Dâr
al-Fikr, Damaskus, 2010, hal. 25
[4] Mustafa
Edwin Nasution, et. Al, Pengenalan Ekslusif…….. op.cit, hal. 60
[5]
Makalah Arif Priyono, Teori Konsumsi Islam. Dikutip dari, Jaribah bin
Ahmad Al-Haritsi, Al-Fiqh AI-Iqtishâdi
Li Amîril Mukmiîin
Umar Ibn Al-Khaththâb,
diterjemahkan oleh Asmuni Solihan Zamalchsyari, Fikih Ekonomi Umar bin AI-Kaththab,
Khalifa , Jakarta. Lihat: Rafiq Yunus al-Misri, Ushûl
al-Iqtishâd al-Islâmî, Dâr
al-Qalam, Damasqus, Cet. I, 2010, hal. 182-185
Tidak ada komentar:
Posting Komentar