Halaman

Jumat, 01 Februari 2013

Konsumsi Dalam Ekonomi Islam

Pengertian dan Urgensi Konsumsi
Konsumsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu to consume yang berarti memakai atau menghabiskan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata konsumsi itu diartikan dengan pemakaian barang hasil produksi.

Secara luas konsumsi adalah kegiatan untuk mengurangi atau menghabiskan nilai guna suatu barang atau jasa, baik secara sekaligus maupun berangsur-angsur untuk memenuhi kebutuhan. Orang yang memakai, menghabiskan atau mengurangi kegunaan barang atau jasa disebut konsumen. Dengan kata lain, konsumen adalah orang yang melakukan kegiatan konsumsi.
Konsumsi bukan hanya sekedar makan atau minum, tetapi merupakan setiap penggunaan atau pemakaian barang-barang dan jasa-jasa yang secara langsung dapat memuaskan kebutuhan seseorang. Objeknya segala macam barang dan jasa yang dapat digunakan untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan manusia.
Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam perekonomian, karena tiada kehidupan tanpa konsumsi. Pengabaian terhadap konsumsi berarti mengabaikan kehidupan sekaligus tugas dalam kehidupan. Manusia diperintahkan untuk mengkonsumsi pada tingkat yang layak bagi dirinya, keluarganya dan orang paling dekat di sekitarnya. Manusia dilarang beribadah secara mutlak tanpa mementingkan kebutuhan jasmani bahkan diperbolehkan mengkonsumsi makanan yang haram ketika dalam kesulitan.

Perilaku  Konsumen
Dalam paradigma ekonomi konvensional perilaku konsumen didasari pada prinsip-prinsip dasar utilitarianisme[1] dan rasionalitas semata. Prinsip ini menuntut adanya perkiraan dan pengetahuan mengenai akibat yang dilakukan. Prinsip ini mendorong konsumen untuk memaksimalkan nilai guna dengan usaha yang paling minimal dengan melupakan nilai-nilai kemanusian. Akibatnya tercipta individualisme dan self interest. Maka keseimbangan umum tidak dapat dicapai dan terjadilah kerusakan dimuka bumi.[2]
Berbeda dengan Islam yang mengingatkan bahwa harta yang dimiliki manusia adalah titipan Allah, bukan tujuan namun sarana yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat (Q.S Al-Hadid : 7, Hud : 61) .[3]
Perilaku konsumen Islami didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan dan mengintegrasikan keyakinan dan kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas berdasarkan Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep pemuasan kebutuhan dibarengi kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya keharmonisan hubungan antara sesama. [4]
Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah Swt.
Dapat kita simpulkan prinsip dasar perilaku konsumen Islami diantaranya: [5]

  1. Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari: Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk dan khalifah yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh Pencipta. (QS. Al-An’am : 165). Prinsip ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi harus mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi Islami tersebut, seseorang dituntut untuk menjalankan apa yang sudah diketahui, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram dan syubhat. 
  2. Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat Islam, di antaranya: Sederhana, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa menghamburkan harta, bermewah-mewah, mubazir, namun tidak juga pelit (QS. Al-Isra: 27-29, Al-A’raf:31).Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri. 
  3. Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: Primer, adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan mengalami kesusahan. Tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia. 
  4. Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya: Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sehingga Islam   mewajibkan zakat bagi yang mampu juga menganjurkan sadaqah, infaq dan wakaf. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi  baik dalm keluarga atau masyarakat . Tidak membahayakan orang yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok. 
  5. Kaidah lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya atam dan kebertanjutannya atau tidak merusak lingkungan
Manfaat dan Eksploitasinya
Pada dasarnya manfaat dan mudarat sebuah barang atau jasa adalah semu bukan hakiki karena sangat dipengaruhi oleh waktu dan tempat juga konsumen sendiri, boleh jadi bermanfaat bagi seseorang namun mudarat bagi orang lain.
Dalam Islam eksploitasi manfaat diharuskan proporsional dan profesional. Islam menganjurkan untuk memanfaatkan barang dan jasa semaksimal mungkin namun pendayagunaan tersebut harus sejalan dengan kondisi dan keadaan barang dan jasa yang diambil manfaatnya. Sehingga tidak menyebabkan kerusakan atau pencemaran lingkungan atau kerugian pihak lain. Karena tidak jarang orang yang terlalu berfikir ekonomis, bahkan ia tidak mau menyisakan sedikitpun peluang untuk tidak ia gunakan.[6]
Kebutuhan dan Keinginan
Ilmu ekonomi  pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik sebagai individu maupun masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan sumber daya guna memenuhi kebutuhan  akan barang dan jasa. Apabila kebutuhan dan keinginan lebih besar dari persediaan barang dan jasa akan terjadi kelangkaan.  Karena keinginan dan kebutuhan memberi efek yang sama bila tidak terpenuhi, yakni kelangkaan maka ekonomi konvensional tampaknya tidak membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Islam memiliki nilai moral yang ketat dalam memasukkan keinginan dalam motif aktifitas ekonomi. Kebutuhan didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Sementara keinginan didefinisikan sebagai kemauan manusia atas segala hal. Kebutuhan harus lebih diutamakan daripada keinginan.[7]
Konsep kebutuhan dalam Islam bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu dikonsumsi akibat motivasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan. Dengan demikian parameter yang membedakan definisi kebutuhan dan keinginan tidak bersifat statis, ia bergantung pada kondisi perekonomian serta ukuran kemashlahatan.



[1] Utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak (http://id.wikipedia.org)
[2] Mustafa Edwin Nasution, et. Al, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, cet.III , 2010, hal. 61
[3] Wahbah Zuhaily, Mausû’ah al- Fiqh al-Islâmî wa al-Qadhâyâ al-Mu’âsharah, Vol. IV, r al-Fikr, Damaskus, 2010, hal. 25
[4] Mustafa Edwin Nasution, et. Al, Pengenalan Ekslusif…….. op.cit,  hal. 60
[5] Makalah Arif Priyono, Teori Konsumsi Islam. Dikutip dari, Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Al-Fiqh AI-Iqtishâdi Li Amîril Mukmiîin Umar Ibn Al-Khaththâb, diterjemahkan oleh Asmuni Solihan Zamalchsyari, Fikih Ekonomi Umar bin AI-Kaththab, Khalifa , Jakarta. Lihat: Rafiq Yunus al-Misri, Ushûl al-Iqtishâd al-Islâmî, Dâr al-Qalam, Damasqus, Cet. I, 2010, hal. 182-185
[6] Rafiq Yunus al-Misri, Ushûl al-Iqtishâd….. hal. 186-187
[7]Mustafa Edwin Nasution, et. Al, Pengenalan Ekslusif……. hal 68-69


By: Ainiyah Abdullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar