Sejarah Uang
Pada peradaban awal, manusia memenuhi kebutuhannya secara
sendiri. Mereka memperoleh makanan dari berburu atau memakan berbagai
buah-buahan. Karena jenis kebutuhannya masih sederhana, mereka belum membutuhkan
orang lain. Masing-masing individu memenuhi kebutuhan makananya secara mandiri.
Dalam periode yang dikenal sebagai periode prabarter ini, manusia belum
mengenal transaksi perdagangan atau kegiatan jual beli.
Ketika jumlah manusia semakin bertambah dan peradabannya
semakin maju, kegiatan dan interaksi antarsesama manusia meningkat tajam.
Jumlah dan jenis kebutuhan manusia juga semakin beragam. Ketika itulah,
masing-masing individu mulai tidak mampu memenuhi kebutuhanya sendiri. Bisa
dipahami karena ketika seseorang menghabiskan waktunya seharian bercocok tanam,
pada saat bersamaan tentu ia tidak akan bisa memperoleh garam atau ikan,
menenun pakaian sendiri, atau kebutuhan yang lain.
Satu sama lain mulai saling membutuhkan, karena tidak ada
individu yang secara sempurna mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Sejak saat
itulah, manusia mulai mengguanakan berbagai cara dan alat untuk melangsungkan
pertukaran barang dalam rangka memnuhi kebutuhan mereka. Pada tahapan perdaban
manusia yang masih sangat sederhana mereka dapat menyelenggarakan tukar-
menukar kebutuhan dengan cara barter. Maka periode itu disebut zaman barter[1].
Hanya saja, cara ini walau pada awalnya sangat mudah dan sederhana,
kemudian perkembangan masyarakat membuat sistem ini menjadi sulit dan muncul
kekurang-kekurangan. Beberapa kekurangan sistem barter sebagai berikut[2]
:
1. Kesusahan mencari keinginan yang sesuai antara
orang-orang yang melakukan transaksi, atau kesulitan untuk mewujudkan
kesepakatan mutual. Misalnya seseorang yang mempunyai keahlian sebagai tukang
kayu dan membutuhkan jasa seorang pandai besi sebagai imbalan jasanya. Bisa
saja dia menemukan pandai besi, tapi tidak membutuhkan jasa tukang kayu
sehingga dia harus pergi dan mencari pandai besi yang lain yang sedang
mebutuhkan jasa tukang kayu. Demikian waktu menjadi banyak terbuang dengan
sia-sia sampai dia menemukan pandai besi.
2. Perbedaan ukuran barang dan jasa, dan sebagian barang
yang tidak bisa dibagi-bagi. Katakanlah pemilik zaitun yang membutuhkan wol
menemukan pemilik wol yang juga membutuhkan zaitun. Hanya saja tidak ada
kesepakatan antara keduanya dalam hal ukuran barang yang dibutuhkan. Pemilik
zaitun memiliki 10 liter zaitun sedangkan pemilik wol hanya memiliki sedikit
wol yang tidak sesuai dengan jumlah ukuran zaitun. Sedang pemilik zaitun
sendiri tidak ingin membagi-bagi barangnya. Terkadang barang itu sendiri tidak
bisa dibagi-bagi seperti orang yang memiliki seekor kambing dan membutuhkan
baju. Ukuran seekor kambing jelas menyamai lebih dari baju dan tidak mungkin baginya
untuk membagi-bagi kambingnya sebagai bayaran untuk sepotong baju. Terjadi
kesulitan dalam pertukaran.
3. Susahnya
membuat membuat sebuah tolak ukur secara umum dari berbagai barang dan jasa.
Dalam sisterm barter manusia kesulitan dalam mengetahui nilai- nilai suatu
barang ketika ingin ditukar dengan berbagai barang yang lain, sebagaimana
mereka juga kesulitan dalam menentukan nilai suatu jasa ketika ingin di tukar
dengan barang atau jasa yang lain.
Adanya keterbatasan-keterbatasan dalam perekonomian
barter ini menimbulkan kebutuhan akan suatu benda yang disebut sebagai alat
tukar. Pada tahap permulaan masyarakat kuno belum menciptakan bentuk uang
secara khusus, tetapi menggunakan benda atau komoditi yang sudah ada pada saat
itu dan dinilai cukup berharga untuk dianggap sebagai uang. Oleh karenanya
bentuk uang berbeda-beda di setiap daerah. Benda yang pernah berperan sebagai
alat tukar misalnya: unta dan kambing dikawasan jazirah arab, sapi dan domba
dikawasan afrika, dll.
Sejarah Uang di
Berbagai Bangsa[3].
Uang pada Bangsa Lydia
Dikatakan bahwa Lydian (bangsa Lydia) adalah orang-orang
yang pertama kali mengenal uang cetakan. Pertama kali uang muncul ditangan para
pedagang ketika mereka merasakan kesulitan dalam jual beli dalam sistem barter
lalu mereka membuat uang. Pada masa Croesus 570 - 546 SM, negara berkepentingan
mencetak uang. Dan pertama kalinya masa ini terkenal dengan mata uang emas dan
perak yang halus dan akurat.
Uang pada Bangsa Yunani
Bangsa Yunani membuat uang komoditi sehingga tersebar
diantara mereka kapas sebagai utensil money dan koin-koin dari perunggu.
Kemudian mereka membuat emas dan perak yang pada awalnya beredar diantara
mereka dalam bentuk batangan sampai masa dimulainya pencetakan uang tahun 406 SM.
Kadang mereka mengukir di uang mereka bentuk berhala mereka, gambar pemimpin
mereka, sebagaimana juga kadang mereka mengukir nama negeri dimana uang itu
dicetak. Mata uang utama mereka adalah Drachma yang terbuat dari perak.
Uang Pada Bangsa Romawi
Bangsa Romawi pada masa sebelum abad ke-3 SM menggunakan
mata uang yang terbuat dari perunggu yang disebut “Aes”. Mereka juga
menggunakan mata uang koin yang terbuat dari tembaga. Dikatakan orang yang
pertama kali mencetaknya adalah Numa atau Servius Tullius, dikatakan koin itu
dicetak pada tahun 269 SM. Kemudian mereka mencetak Denarius dari emas
yang kemudian menjadi mata uang imperium Romawi, dicetak tahun 268 SM. Di atas
uang itu mereka cetak ukiran bentuk Tuhan dan pahlawan mereka, hingga masa
Julius Caesar yang kemudian mencetak gambarnya di atas uang tersebut. Mata uang
Romawi menjadi bermacam-macam sesuai dengan kepentingan politiknya dalam bentuk
ukiran pada uang yang digunakan untuk tujuan-tujuan politik. Penipun menyebar
di antara mereka dalam mempermainkan mata uang. Kadang tertulis pada uang
Denarius suatu nilai yang melebihi dari nilai yang sebenarnya sebagai barang
tambang. Kadang juga mereka mencampur emas dengan barang tambang lain karena
kepentingan-kepentingan negara sehingga urusan masyarakat menjadi kacau balau
sampai para pedagang tidak mau lagi menerima mata uang dengan nilai harga
tertulis.
Uang Pada Bangsa Persia
Bangsa Persia mengadopsi pencetakan uang dari bangsa
Lydia setelah penyerangan mereka pada tahun 546 SM. Uang dicetak dari emas dan
perak dengan perbandingan (Ratio) 1 : 13,5. Suatu hal yang membuat naiknya
nilai emas dari perak. Uang pada mulanya berbentuk persegi empat kemudian
mereka ubah menjadi bundar dan mereka ukir pada uang itu ukiran-ukiran tempat
peribadatan mereka dan tempat nyala api. Mata uang yang tersebar luas pada
bangsa Persia adalah Dirham perak dan betul-betul murni. Ketika sistem
kenegaraan mengalami kemunduran, mata uang mereka pun ikut serta mundur.
Menurut Mawardi, bangsa-bangsa Persia itu, ketika persoalan sistem kenegaraan
mereka hancur, uang mereka ikut hancur bersamanya.
Uang Pada Negara-Negara Islam[4]
Bangsa arab telah bertransaksi menggunakan uang sesuai
berat uang tersebut, mereka tidak mengguanakan nominal banyaknya uang tersebut
dikarenakan tidak samanya berat suatu uang dengan yang lainya. Sebagaimana
mereka tidak membedakan bentuk uang, dan menjadikan emas dan perak sebagai alat
tukar dengan berbagai bentuk. Bangsa arab mengadopsi uang dari luar arab dan
tidak mempunyai uang khusus dari negaranya. Di Irak dan Yaman menggunakan alat
tukar yang didatangkan dari Persia yang
dikenal dengan uang perak Persia. Sedangkan Syam dan Mesir menggunakan alat
tukar yang didatangkan dari Roma yang di kenal dengan uang emas Romawi. Adapun
penduduk jazirah Arab ketika itu menggunakan alat tukar dari emas dan perak
yang didatangkan dari perdagangan mereka
ke Syam dan Yaman, sebagaimana mereka masih tetap menggunakan system barter
dalam kegiatan ekonomi mereka.
Uang Pada Zaman Rasul Saw
Rasululullah Saw belum mencetak uang yang khusus dari
kaum muslimin, itu dikarenakan kesibukan dalam dakwah dan jihad. Akan tetapi
kaum muslimin masih menggunakan Dirham
Persia dan Dinar Romawi dalam alat tukar menukar mereka, yaitu mengguanakannya sesuai
berat uang tersebut bukan nominal banyaknya. Hal ini telah disepakati oleh
Rasulullah Saw dengan sabdanya yang diriwayatkan oleh Umar ra:
المكيال مكيال المدينة والوزن وزن أهل مكة
"Timbangan berat (wazan) adalah timbangan penduduk
mekkah, dan takara (mikyal) adalah takaran penduduk madinah".
Uang Setelah Zaman
Rasul Saw
Uang yang digunakan
oleh jazirah arab tidak berubah sepeninggal Rasul Saw, khususnya pada zaman
khalifah Abu Bakar Sidik ra, pada zaman khalifah Umar ibnu Khatab pada tahun 20
hijriyah, memerintahkan mencetak uang Dirham baru berdasarkan pola Dirham
Persia. Berat, gambar, maupun tulisan bahlawiyah (huruf Persia) tetap
ada, hanya ditambah dengan lafadz bismillah, dan bismillahi rabbi
yang terletak pada tepi lingkaran. Pada saat itu khalifah Umar memperkejakan
ahli pembukuan dan akutan orang Persia dalam jumlah besar untuk mengatur
pemasukan dan pengeluaran di baitul mal (keuangan negara). Mata uang
khalifah Islam yang mempunyai kecirian khusus baru dicetak oleh pemerintah Imam
Ali ra. Namun peredaranya sangat terbatas karena keadaan politik saat itu.
Pada zaman Muawiyah, mata uang dicetak dengan gaya
Persia dengan mencantumkan gambar pada pedang gubernurnya di Irak. Ziyad juga
mengeluarkan Dirham dengan mencantukan nama khalifah. Cara yang dilakukan
Muawiyah dan Ziyad yaitu pencantuman gambar dan nama kepala pemerintah pada
mata uang masih dipertahankan sampai saat ini, termasuk juga Indonesia.
Mata uang yang
beredar pada waktu itu belum berbentuk bulat seperti uang logam sekarang ini.
Baru pada zaman Ibnu Zubair dicetak untuk pertama kalinya mata uang dengan
bentuk bulat, namun peredarannya terbatas di Hijaz. Sedangkan Mus'ab, gubernur
di Kufah mencetak uang dengan gaya Persia dan Romawi. Pada tahun 72-74
hijriyah, Bisr bin Marwan mencetak mata uang yang disebut Athawiya.
Sampai zaman ini mata uang khalifah beredar bersama dengan Dinar Romawi, Dirham
Persia, dan sidikit Himyarite Yaman. Barulah pada zaman Abdul (76 H)
pemerintah mendirikan tempat percetakan uang di Daar Idjard, Suq Ahwaj, Sus,
Jay, Manadar, Maysan, Ray, Abarqubadh, dan mata uang khalifah dicetak secara
terorganisir dengan kontrol pemerintah.
Pada masa khalifah
Abdul Malik bin Marwan itu, Dirham dicetak dengan corak Islam. Terdapat
lafadz-lafadz Islam yang ditulis dengan huruf Arab gaya Kufi pada Dirham
tersebut. Ketika itu Dirham Persia tidak digunakan lagi. Dua tahun kemudian (77
H/697 H) Abdul Malik bin Marwan mencetak dinar khusus yang bercorak Islam
setelah meningglkan pola Dinar Romawi. Gambar-gambar Dinar lama diubah dengan
tulisan atau lafadz-lafadz Islam, seperti: Allahu Ahad, Allah Baqa'. Sejak tiulah orang Islam memiliki Dinar dan
Dirham yang secara resmi digunakan sebagai mata uangnya[5].
Klasifikasi Uang
Uang dapat diklasifikasikan atas beberapa dasar yang
berbeda-beda, seperti misalnya sifat fisik dan bahan yang dipakai untuk membuat
uang atau yang mengeluarkan atau yang mengedarkan.
Klasifikasi uang dapat diuraikan sebagai berikut :
Uang Barang (commodity Money)
Uang barang adalah alat tukar yang memiliki nilai
komodity atau bisa diperjualbelikan apabila barang tersebut digunakan bukan
sebagai uang. Namun tidak semua barang bisa menjadi uang, diperlukan tiga
kondisi utama, agar suatu barang bisa dijadikan uang, antara lain[6]:
Kelangkaan (scarcity), yaitu persediaan barang itu
harus terbatas.
Daya tahan (durability), barung tersebut harus
tahan lama.
Nilai tinggi, maksudnya barang yang dijadikan uang harus
bernialai tinggi, sehingga tidak memerlukan jumlah yang banyak dalam melakukan
transaksi.
Uang Logam (metalic money)
Sejalan berubahnya zaman uang komoditas atau uang barang
dianggap mempunyai banyak kelemahan.
Diantaranya, uang barang tidak memiliki pecahan, sulit untuk disimpan dan sulit
untuk dibawa atau di angkut. Kemudian manusia mulai memikirkan alternatif lain
untuk membuat suatu barang lain yang
bisa digunakan sebagai uang.
Kemudian terhadap barang yang bisa digunakan sebagai
uang, jatuh pada logam-logam mulia, seperti emas dan perak. Ada sejumlah alas
an mengapa emas dan perak dipilih sebagai uang. Kedua logam tersebut memiliki
nilai tinggi, langka, dan dapat diterima secara umum sebagai alat tukar.
Kelebihan lainnya, emas dan perak dapat dipecah menjadi bagian-bagian yang
kecil dengan tetap mempunyai nilai yang utuh. Selain itu logam mulia inin juga
tidak mudah susut dan rusak[7].
Uang Kertas (Token Money)
Ketika Perang Dunia I berkecamuk tahun 1914, Turki
seperti Negara- negara lainnya mengumumkan pemberlakuan wajib terhadap uang
kertas dan membatalkan transaksi dengan emas dan perak. Pada tahun 1914, uang
kertas di seluruh dunia bersifat wajib dan tidak terikat dengan penopang barang
tambangan tertentu. Setelah Perang Dunia I berlalu, Inggris berusaha
mengembalikan sistem penopang emas untuk memperkuat mata uangnya demi menjaga
posisinya di dunia internasional. Pada masa tahun 1925-1931 memberlakukan
sistem emas batangan sebagai penopang uang kertas disertai kemampuan untuk
menerbitkan uang kertas melebihi emas penopang. Dengan demikian Inggris adalah
negara pertama memberlakukan sistem ini kemudian diikuti Perancis tahun 1928.
Sedangkan negara berkembang, sistem keuangannya mengikuti sistem negara yang
menjajahnya[8].
Ada beberapa keuntungan penggunaan uang kertas, di
antaranya biaya pembuatan rendah, pengirimannya mudah, penambahan dan
pengurangan lebih mudah dan cepat, serta dapat dipecah-pecahkan dalam jumlah
berapa pun.
Namun kekurangan uang kertas juga cukup signifikan,
antara lain uang kertas ini tidak bisa dibawa dalam jumlah yang besar dan
karena dibuat dari kertas sangat mudah rusak.
Uang kertas terbagi menjadi tiga macam, yaitu[9]:
النقود البديلة أوالنائبة (uang pengganti)
النقود الوثيقة (uang dokumen bukti)
النقود الإلزامية (uang
jaminan)
Uang Giral (Deposit Money)
Yang dimaksud dengan uang giral adalah uang yang beredar
pada bank yang dapat diambil oleh si pemegangnya sewaktu-waktu. Uang giral
muncul dari gagasan masyarakat seiring dengan perkembangan perbankan. Uang
kertas yang dirasa mempunyai kelemahan dalam menyelesaikan
transaksi-transaksinya terutama untuk transaksi dalam jumlah yang besar di mana
sejumlah uang kertas harus dibawa-bawa sehingga menimbulkan resiko tertentu dan
keadaan yang tidak praktis, maka uang giral muncul untuk menyelesaikan
transaksi-transaksi perdagangan. Penggunaan uang giral dan semakin
berkembangnya penggunaan cek dan giro bilyet dalam kegiatan perekonomian
masyarakat tergantung dari kemajuan cara berpikir masyarakat dan kemajuan
perekonomian suatu negara, artinya bila kemajuan perekonomian telah cukup baik
maka kepercayaan masyarakat terhadap jasa-jasa perbankan akan semakin besar dan
mereka semakin banyak memerlukan uang giral[10].
Keuntungan uang giral sebagai alat pembayaran adalah[11]:
Kalau hilang dapat dilacak kembali sehingga tidak bisa
diuangkan oleh yang tidak berhak.
Dapat dipindahtangankan dengan cepat dan ongkos yang rendah.
Tidak diperlukan uang kembali sebagai cek dapat ditulis
sesuai dengan nilai transaksi.
Namun di balik kelebihan system ini, sesungguhnya
tersimpan bahaya besar. Kemudahan perbankan menciptakan uang giral di tambah
dengan instrument bunga bank membuka peluang terjadinya uang beredar yang lebih
besaar daripada transaksi riilnya. Inilah yang kemudian menjadi pertumbuhan
ekonomi yang semu (bubble economy.
Fungsi Uang
Para ahli ekonomi membagi
fungsi uang (baik dari segi konvesional atau ekonomi Islam) menjadi empat hal,
dua fungsi asli dan dua fungsi turunan.
Fungsi asli meliputi:
Sebagai Alat Tukar
(Medium of Exchange)
Ini adalah fungsi pokok
dari uang. Dengan uang sebagai alat tukar, seseorang dapat memperoleh barang
atau jasa sesuai yang ia inginkan. Tidak seperti sistem barter pada zaman
dahulu. Misalnya seseorang yang mempunyai apel, dan dia membutuhkan beras.
Dalam sistem barter, orang yang mempunyai apel harus pergi ke pasar dan mencari
orang yang mempunyai beras dan dia juga membutuhkan apel. Dan terjadilah barter
di antara kedua belah pihak.
Saat ini, ketika manusia
menggunakan uang sebagai alat tukar. Maka seseorang yang mempunyai apel tadi,
menjual apelnya dengan uang. Kemudian ia membeli beras dengan uang tersebut.
Dan pemilik beras menjual berasnya dengan uang, sehingga ia dapat membeli
barang apapun juga dengan uang tersebut.
Sebagai
alat tukar, uang akan membuat kegiatan ekonomi semakin mudah dan efisien karena
para pelaku ekonomi dapat melakukan transaksi kapan, di mana, dan dengan siapa
saja. Dengan demikian, uang dapat membagi
transaksi menjadi dua jenis:
Transaksi penjualan barang
atau jasa untuk mendapatkan uang
Transaksi pembelian barang
atau jasa dengan uang tersebut
Agar terwujudnya fungsi
uang sebagai alat tukar, para ahli ekonomi mensyaratkan adanya keikhlasan dan
keridhaan dari kedua belah pihak terhadap kelayakan uang tersebut.
Ulama-ulama muslim telah
membahas fungsi uang ini di dalam kitab-kitabnya. Sebagai contoh Imam Abu Hamid
Al-Ghazali mengatakan bahwa “Allah Swt menjadikan uang dinar dan dirham sebagai
hakim dan penengah di antara harta benda lainnya sehingga harta benda tersebut
dapat diukur nilainya dengan uang dinar dan dirham”.[12]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menjelaskan, “(Mata uang) dinar dan
dirham asalnya bukan untuk dimanfaatkan zatnya. Tujuannya adalah sebagai alat
ukur (untuk mengetahui nilai suatu barang). Dirham dan dinar bukan bertujuan
untuk dimanfaatkan zatnya, keduanya hanyalah sebagai media untuk melakukan
transaksi. Oleh karena itu fungsi mata uang tersebut hanyalah sebagai alat
tukar, berbeda halnya dengan komoditi lainnya yang dimanfaatkan zatnya.”[13]
Sebagai Satuan Hitung
(Unit of Account)
Dengan adanya uang, maka
nilai suatu barang dapat diukur dan diperbandingkan. Nilai suatu barang dapat
dinyatakan dengan harga. Penggunaan uang sebagai alat satuan hitung akan
memudahkan masyarakat menentukan nilai suatu barang.
Pada sistem barter dahulu,
terdapat kesulitan dalam menentukan satuan nilai pada suatu barang atau jasa.
Misalnya Arif memiliki seekor onta, dan ia ingin menukarkan ontanya dengan
gandum. Maka pada sistem barter, sangat sulit untuk menentukan berapa kilo
gandum yang harus diberikan untuk menganti seekor onta tersebut.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali
mengibaratkan uang bagaikan cermin. Cermin
dapat memantulkan berbagai macam warna, sedangkan cermin sendiri tidak
berwarna. Dalam arti uang
berfungsi sebagai ukuran nilai yang dapat merefleksikan harga benda yang ada
dihadapannya. Dengan demikian uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri
karena uang tidak mempunyai harga tapi ia sebagai alat untuk menghargai semua
barang.[14]
Sedangkan fungsi turunan
di antaranya adalah:
Sebagai Penyimpan Nilai
(Store of Value)
Yang dimaksud dengan uang sebagai
penyimpan nilai misalnya seseorang yang memiliki uang, tidak wajib baginya
untuk membelanjakan semua uang yang ia miliki pada saat itu juga. Tetapi
adakalanya ia mengakhirkan dan menyimpan uang tersebut untuk kebutuhan-kebutuhan
mendatang.
Contoh uang sebagai
penyimpan nilai: Dhini memiliki uang sebanyak 100.000 LE. Dengan uang itu, ia
membeli sebuah sepeda seharga 500 LE. Dan menyimpan sisanya untuk membeli mobil
dua bulan kemudian. Karena saat itu, Dhini belum mempunyai garasi untuk
menyimpan mobil tersebut.
Pada contoh di atas, uang
berfungsi sebagai penyimpan nilai. Karena jika Dhini menyimpan nilai tersebut
dalam bentuk mobil pada saat itu, maka ia akan mengalami berbagai kesulitan.
Mungkin mobil itu akan hilang atau rusak karena tidak adanya garasi yang
melindunginya. Adapun jika disimpan dalam bentuk uang, itu akan mempermudah
Dhini dalam menyimpannya.
Agar terwujudnya uang pada
fungsi ini, para ahli ekonomi mensyaratkan terjaganya kestabilan nilai atau
daya beli pada masa mendatang. Jika hal itu tidak terjadi, maka membelanjakan
uang dalam bentuk barang pada masa sekarang bisa jadi lebih baik dari pada
menyimpannya dalam bentuk uang.
Dr. Muhammad Zaki Syafi’i
mengatakan bahwa uang akan mengalami fluktuasi nilai atau daya beli
suatu produk dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi pada Perang Dunia I, dimana
harga barang naik, sehingga nilai uang menjadi rendah. Pada saat itu, setiap
manusia menyimpan hartanya dalam bentuk saham atau barang-barang tahan lama,
seperti: rumah, tanah dan sawah.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali
menegaskan bahwa “Barang siapa yang memiliki uang (emas dan perak), maka ia
akan memiliki segalanya.” Ibnu Khaldun juga
mengisyaratkan uang sebagai alat simpanan dalam perkataan beliau: “Kemudian
Allah Ta’ala menciptakan dari dua barang tambang emas dan perak, sebagai nilai
untuk setiap harta. Dua jenis ini merupakan simpanan orang-orang di dunia.” [15]
Sebagai Alat Penundaan
Pembayaran (Standard of Deferred Payment)
Transaksi-transaksi barang
dan jasa seringkali dilakukan dengan pembayaran tertunda (kredit). Misalnya:
Agus menjual jas di pasar, lalu datanglah seorang pembeli. Tetapi pembeli
tersebut tidak membawa uang cukup. Maka, Agus menjualnya dengan sistem kredit (taqsid).
Fungsi ini dapat dilakukan dengan baik jika nilai uang stabil. Nilai uang
dikatakan stabil apabila uang yang dibelanjakan memperoleh barang yang jumlah
dan mutunya sama setiap sata. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka
fungsi uang sebagai alat penundaan pembayaran tidak dapat terlaksana dengan
sempurna. Contoh lainnya adalah pegawai yang mendapat gaji sebulan sekali
setelah satu bulan penuh bekerja. Selain itu seseorang yang meminjam uang harus
membayarkan hutangnya di masa depan.
Perbedaan Fungsi Uang
Menurut Ekonomi Islam dan Kapitalisme[16]
Secara umum, semua mata
uang akan berfungsi sama. Sebagai alat tukar, satuan hitung, penyimpan nilai,
dan sebagai alat penundaan pembayaran. Namun ada satu hal yang sangat berbeda
dalam memandang uang antara sistem kapitalis dengan sistem Islam. Dalam sistem
kapitalis, uang tidak hanya sebagai alat tukar yang sah, melainkan juga sebagai
komoditas. Menurut sistem kapitalis, uang juga dapat diperjualbelikan dengan
kelebihan baik on the spot maupun secara tangguh.
Sedangkan dalam Islam,
uang hanyalah sebagai medium of exchange. Ia bukan suatu komoditas yang
bisa diperjualbelikan. Satu fenomena penting dari karakteristik uang adalah
uang tidak diperlukan untuk dikonsumsi, ia tidak diperlukan untuk dirinya
sendiri. Melainkan diperlukan untuk membeli barang yang lain sehingga kebutuhan
manusia dapat terpenuhi.
Ketika uang diperlakukan
sebagai komoditas oleh sistem kapitalis, berkembanglah apa yang disebut pasar
uang (money market). Terbentuknya pasar uang ini menghasilkan dinamika
yang khas dalam sistem konvensional, terutama pada sektor moneternya. Pasar
uang ini kemudian berkembang dengan munculnya pasar derivatif, yang merupakan
turunan dari pasar uang. Pasar derivatif ini menggunakan instrumen bunga sebagai
harga dari produk-produknya. Transaksi di pasar uang dan pasar derivatifnya ini
tidak berlandaskan motif transaksi yang riil sepenuhnya, bahkan sebagian besar
di antaranya mengandung motif spekulasi. Maka tak heran jika perkembangan di
pasar moneter konvensional begitu spektakuler.
Sedangkan dalam ekonomi
Islam, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riil. Disinilah bedanya
dengan ekonomi konvensional yang memisahkan antara sektor finansial dan sektor
riil. Akibat keterpisahan itu, maka arus uang (moneter) berkembang dengan cepat
sekali, sementara arus barang di sektor riil semakin jauh tertinggal. Sektor
moneter dan sektor riil menjadi sangat tidak seimbang.
Pakar manajamen tingkat
dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan
arus barang/jasa sebagai adanya decoupling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang
(moneter) dengan arus barang dan jasa.[17]
Sekedar ilustrasi, dari fenomena decoupling
tersebut, menurut data dari sebuah NGO asal Amerika Serikat, volume transaksi
yang terjadi di pasar uang dunia berjumlah US $ 1,5 triliun hanya dalam sehari,
sedangkan volume transaksi yang terjadi dalam perdagangan dunia di sektor riil
US $ 6 triliun setiap tahun. Bisa dibayangkan dengan empat hari transaksi di
pasar uang, nilainya sudah menyamai transaksi di sektor riil selama setahun.
Inilah yang kemudian menciptakan satu kondisi perekonomian gelembung (bubble
economic), suatu kondisi yang melibatkan transaksi keuangan yang besar
sekali, namun sesungguhnya tidak ada isinya karena tidak dilandasi transaksi
riil yang setara.
Uang Kertas dalam
Perspektif Islam
Pada saat Nabi Muhammad SAW diutus
sebagai nabi dan rasul, beliau menetapkan apa yang telah menjadi tradisi
penduduk Mekkah, Dinar emas dan dirham perak serta uang logam (uang tembaga)
sebagai mata uang yang berlaku. Sejak zaman Rasulullah SAW Mata uang tersebut
terus digunakan dalam transaksi berbagai kebutuhan dan perdagangan hingga
muncul mata uang kertas (paper money), tepatnya setelah Perang Dunia I pada tahun
1914 M. Semenjak itu, banyak negara tidak lagi mempergunakan dinar, emas dan
dirham perak sebagai mata uang dan alat tukar, meskipun sebagian negara tetap
menggunakan nama dinar untuk mata uang negara seperti negara Kuwait namun Dinar
berbentuk uang kertas.
Secara etimologi, kata uang dalam terjemahan bahasa Arab nuqud mempunyai beberapa makna: baik, lawan tempo atau tunai, yakni memberikan bayaran segera. Disebutkan dalam hadits: Naqadani al-tsaman (نقدني الثمن ) artinya: dia membayarku dengan harga tunai (secara langsung tanpa ditunda).
Kata uang (nuqud/money) tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam al Hadits. Karena bangsa Arab menggunakan kata dinar untuk mata uang emas dan dirham untuk mata uang perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukan dirham perak dan ’ain untuk dinar emas. Sedangkan kata fulus dipakai untuk menunjukan alat tukar tambahan untuk membeli barang-barang murah.
Para ulama fikih menyebut mata uang dengan menggunakan kata dinar, dirham dan fulus. Untuk menunjukan dinar dan dirham mereka menggunakan kata naqdain (mustanna). Menurut Al-Sarkhasy (Al-Mabsuth: 14), nuqud hanya dapat digunakan untuk transaksi atas nilai yang terkandung, karenanya nuqud tidak dapat dihargai berdasarkan bendanya. Jadi definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar nilai harga, media transaksi dan media simpanan. Dengan demikian nampak jelas bahwa para fakih mendefinisikan uang dari perspektif fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu: a. Sebagai standar nilai harga komoditi dan jasa; b. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa; dan c. Sebagai alat simpanan.
Kesimpulannya, mata uang adalah setiap sesuatu yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan hukum yang bersifat memenuhi tanggungan dan kewajiban, serta diterima secara luas. Sedangkan uang lebih umum dari pada mata uang, karena mencakup mata uang dan yang serupa dengan uang. Dengan demikian, setiap mata uang adalah uang, tetapi tidak setiap uang itu mata uang.
Islam tidak menentukan mata uang tertentu untuk dijalankan oleh umat muslim, kalaupun Rasulullah saw menyebutkan Dinar dan Dirham bukan berarti mata uang yang harus dipraktikkan hanya terbatas kepada jenis itu saja. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, semua teks agama yang menyebut kata Dinar dan Dirham tidak menyebut satu-satunya alat transaksi. Kedua, karakteristik muamalah (transaksi) bersifat dinamis, diserahkan kepada kreatifitas manusia sepanjang tidak berbuat zalim. Karena pada dasarnya muamalah adalah halal. Ketiga, uang kertas dapat dianalogikan (qiyas) dengan Dinar dalam aspek sebagai stándar nilai, alat tukar dan alat saving.
Secara etimologi, kata uang dalam terjemahan bahasa Arab nuqud mempunyai beberapa makna: baik, lawan tempo atau tunai, yakni memberikan bayaran segera. Disebutkan dalam hadits: Naqadani al-tsaman (نقدني الثمن ) artinya: dia membayarku dengan harga tunai (secara langsung tanpa ditunda).
Kata uang (nuqud/money) tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam al Hadits. Karena bangsa Arab menggunakan kata dinar untuk mata uang emas dan dirham untuk mata uang perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukan dirham perak dan ’ain untuk dinar emas. Sedangkan kata fulus dipakai untuk menunjukan alat tukar tambahan untuk membeli barang-barang murah.
Para ulama fikih menyebut mata uang dengan menggunakan kata dinar, dirham dan fulus. Untuk menunjukan dinar dan dirham mereka menggunakan kata naqdain (mustanna). Menurut Al-Sarkhasy (Al-Mabsuth: 14), nuqud hanya dapat digunakan untuk transaksi atas nilai yang terkandung, karenanya nuqud tidak dapat dihargai berdasarkan bendanya. Jadi definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar nilai harga, media transaksi dan media simpanan. Dengan demikian nampak jelas bahwa para fakih mendefinisikan uang dari perspektif fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu: a. Sebagai standar nilai harga komoditi dan jasa; b. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa; dan c. Sebagai alat simpanan.
Kesimpulannya, mata uang adalah setiap sesuatu yang dikukuhkan pemerintah sebagai uang dan memberinya kekuatan hukum yang bersifat memenuhi tanggungan dan kewajiban, serta diterima secara luas. Sedangkan uang lebih umum dari pada mata uang, karena mencakup mata uang dan yang serupa dengan uang. Dengan demikian, setiap mata uang adalah uang, tetapi tidak setiap uang itu mata uang.
Islam tidak menentukan mata uang tertentu untuk dijalankan oleh umat muslim, kalaupun Rasulullah saw menyebutkan Dinar dan Dirham bukan berarti mata uang yang harus dipraktikkan hanya terbatas kepada jenis itu saja. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, semua teks agama yang menyebut kata Dinar dan Dirham tidak menyebut satu-satunya alat transaksi. Kedua, karakteristik muamalah (transaksi) bersifat dinamis, diserahkan kepada kreatifitas manusia sepanjang tidak berbuat zalim. Karena pada dasarnya muamalah adalah halal. Ketiga, uang kertas dapat dianalogikan (qiyas) dengan Dinar dalam aspek sebagai stándar nilai, alat tukar dan alat saving.
Pendapat dan Sikap Ulama fiqih Mengenai Uang Kertas
Ulama ahli fiqih berbeda
persepsi dan sikap menghadapi uang kertas setelah masyarakat secara umum
menggunakannya sebagai alat jual beli, berikut pendapat mereka secara global:
Pendapat pertama:
Uang kertas adalah surat piutang yang
dikeluarkan oleh suatu negara, atau instansi yang ditunjuk. Diantara ulama yang
berpendapat dengan pendapat ini ialah syeikh Muhammad Amin As Syanqithy
rahimahullah[18] , Ahmad Husaini[19], Syeikh Abdul Qodir Bin Ahmad Bin Badran[20]. Pendapat ini lemah atau kurang kuat, dikarenakan
bila pendapat ini benar-benar diterapkan, berarti tidak dibenarkan membeli sesuatu
yang belum ada atau yang disebut dengan pemesanan atau salam, karena menurut
pendapat ini akad tersebut menjadi jual-beli piutang dengan dibayar piutang,
dan itu dilarang dalam syari’at Islam, sebagai mana sabda Nabi Muhammad SAW:
عن ابن عمر رضي الله عنهما : عن النبي صلّى الله عليه وسلّم : (أنه نهى عن بيع الكالئ بالكالئ). رواه الحاكم والدَّارقطني
“Dari sahabat Ibnu Umar
radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannnya
beliau melarang jual-beli piutang dengan dibayar piutang.” (HR. al-Hakim)
Pendapat kedua:
Uang kertas adalah salah satu bentuk barang
dagangan, tidak mengandung sifat tsamaniyah serta hukum yang berlaku
untuk uang kertas tersebut adalah hukum barang dagangan. Pendapat ini dianut
oleh beberapa ulama madzhab Maliky
diantanya Syeikh ‘Alays[21], dan Syaikh
Abdurrahman as-Sa’dy rahimahullah (sebagaimana beliau nyatakan dalam kitab
Fatawa as-Sa’diyyah)[22].
Sebagaimana pendapat
sebelumnya, pendapat ini ketika diterapkan dan dicermati dengan seksama akan
nampak berbagai sisi kelemahannya, di antaranya ialah: pendapat ini akan
membuka lebar-lebar berbagai praktik riba dan menggugurkan kewajiban zakat dari
kebanyakan umat manusia. Hal ini dikarenakan uang yang berlaku pada zaman
sekarang terbuat dari kertas, sehingga -konsekuensinya- tidak dapat diqiyaskan
dengan keenam komoditi riba. Sebagaimana halnya zakat mal tidak dapat dipungut
dari orang yang kekayaannya terwujud dalam uang kertas, berapapun jumlahnya,
karena kertas bukan termasuk harta yang dikenai zakat kecuali jika untuk
diperjual belikan atau diniagakan. Dan tidak diperbolehkan jual beli salam dengan
uang kertas jika uang tersebut dijadikan barang dagangan. Karena jual beli salam harus dibayarkan tunai dan
pembayarannya bukan dengan barang.
Pendapat ketiga:
Uang kertas adalah mata uang tersendiri yang
memiliki sifat tsamaniyah (nilai ) sebagaimana halnya uang emas dan
perak, dan dijadikan pengganti dari emas dan perak. Didalam uang kertas berlaku
hukum-hukum fiqih yang diberlakukan untuk emas dan perak diantaranya riba
dan Zakat. Terlebih setiap orang didunia
telah mengakuinya dan menerimanya
sebagai standar nilai, alat tukar
dan perantara transaksi serta alat saving.
Sehingga uang kertas yang beredar di dunia sekarang ini berbeda-beda jenisnya
selaras dengan perbedaan negara yang mengeluarkannya.
diantara ulama fiqih kontemporer yang mengemukakan pendapat tersebut adalah: Syeikh Abu BAkar Al-kasynawi[23] , Dr. Yusuf Al-qardhawi[24] , Syeikh Hasan Ma’mun (Grandsyeikh Alazhar)[25] dan lain sebagainya.
diantara ulama fiqih kontemporer yang mengemukakan pendapat tersebut adalah: Syeikh Abu BAkar Al-kasynawi[23] , Dr. Yusuf Al-qardhawi[24] , Syeikh Hasan Ma’mun (Grandsyeikh Alazhar)[25] dan lain sebagainya.
Meskipun ulama fiqih
dipendapat ketiga sepakat mengatakan
bahwa uang mempunyai nilai (tsamaniyah nuqud) mereka berbeda pendapat
pada istinbat/pengambilan inti nilai
serta tingkatan nilai yang disandarkan kepada naqdain. Kepada 4
pendapat:
Pendapat pertama: Uang
kertas disamakan dengan fulus (yaitu alat jual beli yang terbuat dari selain
emas dan perak, dan digunakan untuk membeli kebutuhan yang ringan. Biasanya
terbuat dari tembaga atau yang serupa. Dan biasanya fulus semacam ini pada masyarakat
zaman dahulu, berubah-rubah pengunaannya, kadang kala berlaku, dan kadang kala
tidak), dan pendapat ini walaupun sekilas terlihat kuat, akan tetapi perbedaan
fungsinya dengan uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang menjadikannya
pendapat yang lemah. Sebab, fulus digunakan untuk membeli barang-barang yang
sepele, berbeda halnya dengan uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang.
Pendapat kedua: uang
kertas merupakan ganti dari uang emas dan perak. Dan menempati posisi sebagai
pengganti emas dan perak secara mutlak serta dihukumi seperti naqdain.
Pendapat ketiga: uang
kertas mempunyai sifat tsamaniyah
(nilai) akan tetapi, nilai yang terkandung didalam uang kertas tidak sama
dengan nilai yang ada pada naqdain [26] selanjutnya mereka menambahkan bahwa uang kertas
bukan emas dan perak, melainkan diberi sifat tsamaniyah (nilai), oleh
sebab itu nilai yg terkandung dalam uang kertas lebih sedikit. Dan tidak
dihukumi sepenuhnya seperti naqdain. Yang bisa menyebabkan riba nasiah
dan riba tafadhul. Tapi didalam uang kertas hanya berlaku riba nasi’ah.
Tidak riba tafdahul. Ulama fiqih telah mendiskusikan dan menolak
pendapat ini, karena jika sifat tsamaniyah (nilai) sudah ditetapkan untuk unag
kertas, maka hukum muamalahnya pun otomastis menjadi seperti naqdain.
yang tidak diperbolehkan adanya unsur riba, baik riba nasi’ah[27] atau riba tafadhul[28].
Pendapat keempat: Uang
merupakan mata uang tersendiri seperti
halnya emas dan perak yang mempunyai nilai tukar dan dipergunakan sebagai alat
tukar. Serta menduduki posisi emas dan perak. Uang kertas terdiri dari berbagai
macam jenis. tergantung institusi dan Negara yg mengeluarkannya, contohnya:
dinar Kuwait, real Saudi, dan lain sebagainya.
Jumhur ulama merajihkan pendapat ketiga dari
tiga pendapat pokok diatas, yang menyatakan bahwa: Uang kertas adalah
mata uang tersendiri yang memiliki sifat tsamaniyah (nilai ) sebagaimana
halnya uang emas dan perak, dan dijadikan pengganti dari emas dan perak.
Didalam uang kertas berlaku hukum-hukum fiqih yang diberlakukan untuk emas dan
perak. Terlebih setiap orang didunia telah mengakuinya dan menerimanya sebagai standar nilai, alat tukar dan perantara transaksi serta alat
saving. Seta mengandung unsure riba dan wajib dizakati jika telah mencapai
nisabnya setara dengan 84 gram emas. Meskipun dikeluarkan oleh negara atau institusi yang berbeda. Dan yang
menjadikan uang itu mengandung unsur riba adalah karena mengandung sifat tsamaniyah
(nilai).
Inflasi
Pada masa sekarang, kita sering kali mendengar kata inflasi. Hal itu karena
inflasi merupakan sebuah fenomena dan polemik yang menimpa pada sebagian besar
perekonomian dunia saat ini, karena dampak negatif yang ditimbulkannya pada
perekonomian atau pun sosial. Terjadi perbedaan teori dalam menafsirkan
fenomena tersebut, ini disebabkan perbedaan filosofi yang dijadikan sandaran
dalam menafsirkannya. Inilah yang menyebabkan munculnya beberapa metode yang
digunakan untuk mengatasi dan menghentikan inflasi, atau paling tidak
meminimalisirnya. Untuk membahas lebih dalam tentang inflasi, penulis akan
membaginya dalam 6 sub bahasan:
Definisi Inflasi
Teori Inflasi
Jenis-Jenis Inflasi
Faktor Penyebab Inflasi
Efek Inflasi
Cara Penanggulangan Inflasi
Definisi Inflasi
Tidak ada definisi tertentu untuk
inflasi yang disepakati oleh para ahli keuangan dan ekonomi. Para pakar ekonomi
dan keuangan berbeda dalam mendefinisikan inflasi. Terjadinya perbedaan dalam
mendefinisikan inflasi ini dikarenakan sebagian pakar ekonomi menjelaskan makna
inflasi berdasarkan sebab yang menimbulkan inflasi dan sebagian yang lain
berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh inflasi[29]. Pada masa antara perang
dunia I dan II, inflasi dipahami sebagai, mengeluarkan uang kertas secara
mutlak, tanpa memperhatikan adanya back up atau perlindungan dari uang
yang dikeluarkan. Kemudian, inflasi dipahami sebagai, pertambahan uang melebihi
pertambahan barang dan jasa[30]. Sedangkan definisi yang umum dipakai oleh
para ahli adalah “kenaikan yang tidak biasa atau tidak alami pada harga”[31]. Akan tetapi, bukan berarti setiap kenaikan
harga disebut inflasi, karena sebagaimana yang dikatakan Gardner Ackley[32], inflasi adalah suatu
kenaikan harga yang terus menerus dari barang-barang dan jasa secara umum
(bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut Gardner kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai inflasi.
Teori Inflasi[33]
1. Teori Kuantitas
Teori ini adalah teori klasik yang membahas tentang inflasi, tetapi dalam
perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli ekonomi,
sehingga teori ini juga dikenal sebagai model kaum moneteris (monetarist
models). Teori ini menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan harapan
(ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi.
Inti dari teori ini adalah sebagai berikut :
1. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar,
baik uang kartal maupun giral.
2. Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar.
2. Keynesian Model
Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi karena
masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga
menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang-barang (permintaan
agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat),
akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan jumlah persediaan
barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka pendek kapasitas
produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi kenaikan permintaan
agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum monetarist, Keynesian
models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka
pendek. Dengan keadaan daya beli antara golongan yang ada di masyarakat tidak
sama (heretogen), maka selanjutnya akan terjadi realokasi barang-barang yang
tersedia dari golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang relatif rendah
kepada golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih besar. Kejadian
ini akan terus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju inflasi akan berhenti hanya
apabila salah satu golongan masyarakat tidak bisa lagi memperoleh dana (tidak
lagi memiliki daya beli) untuk membiayai pembelian barang pada tingkat harga
yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak
lagi melebihi supply barang (inflationary gap menghilang).
3. Teori Struktural : Model Inflasi di Negara Berkembang
Banyak study mengenai inflasi di negara-negara berkembang, menunjukan bahwa
inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga merupakan
fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini disebabkan karena
struktur ekonomi negara-negara berkembang pada umumnya yang masih bercorak
agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya
gagal panen (akibat faktor eksternal pergantian musim yang terlalu cepat,
bencana alam, dan sebagainya), atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan
hubungan luar negeri, misalnya memburuknya perdagangan; utang luar negeri; dan
kurs valuta asing, dapat menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik.
Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural
dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural
bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu :
1. Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan
pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan
teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sector
pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.
2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan
ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan cadangan valuta
asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku;
input antara; maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan
sektor industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya
demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat.
Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan
laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan
permintaan.
3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor
penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan,
akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya
pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan
pencetakan uang (printing of money). Dengan adanya structural bottlenecks ini,
dapat memperparah inflasi di Negara berkembang dalam jangka panjang, oleh
karenanya fenomena inflasi di Negara-negara yang sedang berkembang kadangkala
menjadi suatu fenomena jangka panjang, yang tidak dapat diselesaikan dalam
jangka waktu yang pendek.
Berbeda dengan kaum monetaris yang memandang inflasi sebagai fenomena
moneter, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat
dari ekspansi jumlah uang beredar, kaum neo-structuralist menekankan pada
struktur sektor keuangan. Dasar pemikiran kaum neo-structuralist ini adalah
pengaruh uang terhadap perekonomian terutama ditransmisikan dari supply side
atau produksi.
Menurut pemikiran kaum neo-structuralist, uang merupakan salah satu factor
penentu investasi dan produksi. Bila jumlah uang yang tersedia untuk investasi
melimpah, menyebabkan harga uang (suku bunga) akan murah, maka volume investasi
akan meningkat. Dengan meningkatnya volume investasi, volume produksi juga akan
meningkat. Sehingga, penawaran barang meningkat, yang pada gilirannya akan
menekan tingkat inflasi. Dengan dasar pemikiran yang seperti ini, timbul
pendapat bahwa deregulasi di sektor finansial dan peningkatan jumlah uang
beredar akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi seraya menekan inflasi.
Kaum strukturalis berpendapat, bahwa selain harga komoditi pangan, penyebab
utama terjadinya inflasi di negara-negara berkembang adalah akibat inflasi dari
luar negeri (imported inflation). Hal ini disebabkan antara lain oleh harga
barangbarang impor yang meningkat di daerah asalnya, atau terjadinya devaluasi
atau depresiasi mata uang di negara pengimpor. Menurut kesimpulan dari
penelitian M.N. Dalal dan G. Schachter (1988), bila kontribusi impor terhadap
pembentukan output domestik sangat besar, yang artinya sifat barang impor
tersebut sangat penting terhadap price behaviour di negara importir, maka
kenaikan harga barang impor akan menyebabkan tekanan inflasi di dalam negeri
yang cukup besar. Selain itu, semakin rendah derajat kompetisi yang dimiliki
oleh barang impor (price inelastic) terhadap produk dalam negeri, akan semakin
besar pula dampak perubahan harga barang impor tersebut terhadap inflasi
domestik.
Jenis Inflasi[34]
Dalam ilmu ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dalam
pengelompokan tertentu, dan pengelompokan yang akan dipakai akan sangat
bergantung pada tujuan yang hendak dicapai.
Jenis inflasi :
1. Menurut Derajatnya
Inflasi ringan di bawah 10%.
Inflasi sedang 10% - 30%.
Inflasi tinggi 30% - 100%.
Hyperinflasion di atas 100%.
2. Menurut Penyebabnya
Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu kuatnya
peningkatan permintaan total (aggregate demand) masyarakat terhadap
komoditi-komoditi hasil produksi di pasar barang, sedangkan produksi telah
berada pada kesempatan kerja penuh, atau hampir penuh sehingga tidak mungkin
menambah produksi lagi. Akibatnya, akan menarik (pull) kurva permintaan agregat
ke arah kanan atas, sehingga terjadi kelebihan permintaan (excess demand), yang
merupakan inflationary gap atau kesenjangan inflasi.
Pengertian kenaikkan aggregate demand seringkali ditafsirkan berbeda oleh
para ahli ekonomi. Golongan moneterist menganggap aggregate demand mengalami
kenaikkan akibat dari ekspansi jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Sedangkan, menurut golongan Keynesian kenaikkan aggregate demand dapat
disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi; investasi; government
expenditures (pengeluaran pemerintah); atau net export (ekspor bersih).
Cost push inflation, yaitu inflasi yang dikarenakan meningkatnya harga
faktor-faktor produksi (baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar
negeri), sehingga menyebabkan kenaikkan harga komoditi di pasar komoditi. Salah
satu penyebabnya adalah perjuangan buruh untuk meningkatkan upah mereka.
3. Menurut Asalnya
Domestic inflation, yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan
pengelolaan perekonomian baik di sektor riil ataupun di sektor moneter di dalam
negeri oleh pemerintah, para pelaku ekonomi dan masyarakat. Salah satu
penyebabnya adalah karena deficit belanja Negara yang dibiayai dengan
pencetakan uang baru atau karena terjadinya kegagalan panen.
Imported inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan
harga-harga komoditi di luar negeri atau barang impor (di negara asing yang
memiliki hubungan perdagangan dengan negara yang bersangkutan). Inflasi ini
hanya dapat terjadi pada negara yang menganut sistem perekonomian terbuka (open
economy system). Dan, inflasi ini dapat ‘menular’, baik melalui harga barang-barang impor maupun
harga barang-barang ekspor.
Terlepas dari pengelompokan-pengelompokan tersebut, pada kenyataannya
inflasi yang terjadi di suatu negara sangat jarang (jika tidak boleh dikatakan
tidak ada) yang disebabkan oleh satu macam / jenis inflasi, tetapi acapkali
karena kombinasi dari beberapa jenis inflasi. Hal ini dikarenakan tidak ada
faktor-faktor ekonomi maupun pelaku-pelaku ekonomi yang benar-benar memiliki
hubungan yang independen dalam suatu sistem perekonomian negara. Contoh :
imported inflation seringkali diikuti oleh cost push inflation, domestic
inflation diikuti dengan demand pull inflation, dsb.
Faktor-Faktor yang Menimbulkan Inflasi[35]
Dari penjelasan definisi, teori dan jenis-jenis inflasi di atas, sebenarnya
sudah dapat diketahui apa saja faktor atau penyebab yang menimbulkan inflasi.
Akan tetapi untuk lebih jelas di sini akan cantumkan beberapa faktor umum yang menjadi
penyebab timbulnya inflasi.
Jumlah uang beredar.
Defisit anggaran belanja pemerintah.
Faktor-faktor dalam penawaran dan permintaan agregat.
Faktor-faktor luar negri (ekspor dan impor serta inflasi di luar negri).
Faktor pengaruh bencana alam.
Efek Inflasi[36]
Efek Terhadap Pendapatan
Secara umum, inflasi akan mengurangi daya beli seseorang. Dengan adanya
inflasi, nilai riil uang yang dipegang akan berkurang. Seseorang yang
memperoleh pendapatan tetap Rp 500.000 per bulan, sedang laku inflasi sebesar
12% setahun (atau 1% perbulan), akan menderita kerugian penurunan pendapatan
riil sebesar laju inflasi tersebut, yakni Rp 5.000 per bulan.
Kekayaan yang berupa tabungan dan deposito juga akan berkurang secara riil
karena inflasi. Misalnya, tingkat bunga yang diperoleh dari tabungan adalah 15%
per tahun dan tingkat inflasi yang terjadi adalah 10% (harga-harga naik 10%),
maka tingkat bunga secara riil yang diperoleh hanyalah 15-10, yaitu 5% per
tahun. Maksudnya, apabila nasabah mengambil seluruh tabungannya pada akhir
tahun, secara nominal uangnya naik sebesar 15%, namun karena inflasi yang
terjadi 10%, kenaikan riil uangnya hanya 5%.
Keadaan tersebut membuat orang berpikir dua kali untuk menabung, pertama
berapa tingkat bunganya dan berapa kira-kira tingkat inflasi setahun yang akan
datang. Tentu saja ia akan memilih bentuk tabungan yang memberikan tingkat suku
bunga lebih tinggi dari tingkat inflasi agar daya beli dari tabungannya tidak
menurun.
Efek terhadap output (hasil produksi)
Inflasi bisa menyebabkan kenaikan produksi. Alasannya
dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga mendahului kenaikan upah sehingga
keuntungan pengusaha naik. Kita tahu bahwa apabila kontrak kerja telah
ditandatangani maka gaji yang akan diterima berarti sudah ditentukan. Nah,
selama periode kontrak lama belum berakhir, adanya inflasi yang mendorong
kenaikan harga produk menaikkan keuntungan pengusaha. Kenaikan keuntungan ini
kan mendorong kenaikan produksi.
Namun apabila laju inflasi itu cukup tinggi, justru
berakibat sebaliknya, yakni penurunan output. Hal ini karena dengan adanya
inflasi yang tinggi daya beli masyarakat akan turun sehingga kuantitas barang
yang dibeli juga menurun. Karena itu pengusaha akan mengurangi produksi barang.
Efek terhadap distribusi
Inflasi yang disebabkan oleh naiknya permintaan melebihi penawaran akan
menyebabkan redistribusi produk, dari mereka yang lemah daya belinya kepada
yang kuat. Apabila harga-harga naik, maka daya beli masyarakat akan turun.
Meskipun demikian, ada sekelompok masyarakat yang mampu menaikkan daya belinya.
Hal ini akan terjadi kesenjangan sosial yang kontras antara si kaya dan miskin.
Efek terhadap investasi
Inflasi yang tinggi akan dapat menyebabkan kenaikan tingkat bunga nominal,
yang dapat mengganggu tingkat investasi yang dibutuhkan untuk memacu tingkat
pertumbuhan ekonomi tertentu. Selain itu akan menguruangi daya tarik investasi
asing, bahkan Inflasi yang tinggi dapat mendorong terjadinya pelarian modal ke
luar negeri.
Efek terhadap sosial
Inflasi yang tinggi secara tidak langsung dapat memicu peningkatan angka
kriminalitas, selain itu juga berefek pada masalah pengangguran. Seperti yang
terjadi di Mesir saat ini dan di Indonesia ketika krisis 1997-1998.
Cara penanggulangan atau mengatasi inflasi
Untuk mengatasi inflasi yang terjadi, terlebih dahulu kita harus mengetahui
penyebabnya sebagaimana yang dijelaskan pada teori inflasi di atas. Dengan
mendeteksi setiap penyebab terjadinya inflasi, maka kita akan dapat menentukan
tindakan yang tepat dalam mengatasinya. Beberapa tindakan tersebut antara lain
sebagai berikut:
1. Kebijakan moneter
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi
makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan
jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar
terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output
keseimbangan. Sasaran kebijakan moneter dapat dicapai melalui pengaturan jumlah
uang yang beredar. Caranya dengan mengurangi uang yang beredar, menaikkan suku
bunga, memperketat pemberian kredit dll.
2. Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan
kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan
dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk
mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada
pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang
berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak
yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka
kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat
meningkatkan jumlah output, ini tentu memicu inflasi. Dan sebaliknya kenaikan
pajak akan menurunkan daya beli masyarakat, ini tentu bisa mengurangi inflasi.
3. Meningkatkan Supply Bahan Pangan
Cara ini adalah jika inflasi lebih disebabkan karena faktor produksi yang
lemah dan tingginya permintaan (strukturalis). Meningkatkan supply bahan pangan
dapat dilakukan dengan lebih memberikan perhatian pada pembangunan di sektor
pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan. Modernisasi teknologi dan
metode pengolahan lahan, serta penambahan luas lahan pertanian perlu dilakukan
untuk meningkatkan laju produksi bahan pangan agar tercipta swasembada pangan.
Dengan begitu akan terjadi keseimbangan penawaran dan permintaan dan
keseimbangan ekspor dan impor pada bahan
pangan.
4. Meningkatkan Cadangan Devisa[37]
Pertama, perlu memperbaiki posisi neraca perdagangan luar negeri, terutama
pada perdagangan jasa, agar tidak terus menerus defisit. Dengan demikian
diharapkan cadangan devisa nasional akan dapat ditingkatkan. Kedua, diusahakan
agar dapat mengurangi ketergantungan industri domestik terhadap barang-barang
luar negeri, misalnya dengan lebih banyak memfokuskan pembangunan pada industri
hulu yang mengolah sumberdaya alam yang tersedia di dalam negeri untuk dipakai
sebagai bahan baku bagi industri hilir. Selain itu juga perlu dikembangkan industri yang mampu memproduksi
barang-barang modal untuk industri di dalam
negeri. Ketiga, mengubah sifat industri
dari yang bersifat impor kepada yang
lebih
bersifat promosi ekspor, agar terjadi efisiensi di sektor harga dan meningkatkan net export (ekspor
bersih).
5. Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Sisi Penawaran
Agregat
Pertama, mengurangi
kesenjangan output (output gap) dengan cara meningkatkan kualitas sumberdaya
pekerja, modernisasi teknologi produksi, serta pembangunan industri manufaktur
nasional agar kinerjanya meningkat. Kedua, memperlancar jalur distribusi barang
nasional, supaya tidak terjadi kesenjangan penawaran dan permintaan di tingkat
regional (daerah). Ketiga, menciptakan
kondisi yang sehat dalam perekonomian agar mekanisme pasar (market
mechanism) dapat berjalan dengan benar, dan mengurangi atau bahkan
menghilangkan segala bentuk faktor yang dapat menyebabkan distorsi pasar. Keempat,
melakukan program deregulasi dan debirokrasi di sektor riil karena acapkali
birokrasi yang berbelit dapat menyebabkan high cost economy.
6. Kebijakan penentuan
harga
Pemerintah dalam hal ini
secara langsung terjun melakukan operasi pasar untuk mengedalikan harga, ini
berguna untuk kestabilan harga bahan pokok. Di samping itu, pemerintah
memberikan informasi harga melalui media cetak atau radio. Informasi ini
berguna untuk mengurangi spekulasi harga yang merupakan salah satu dampak dari
inflasi.
Daftar Pustaka
Dawabah, Muhammad Syaraf, Al
Iqtishad al Islamy Madkholun wa Manhajun, Darussalam, Kairo, cet. I, 2010
Bagian Kurikulum Fiqh
Universitas Al Azhar, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah, Diktat Universitas Al Azhar Fakultas Syari’ah Tingkat
3, Kairo
Hasan, Ahmad, Al Awraq
an Naqdiyah fil Iqtishad al Islamy: Qimatuha wa Ahkamuha, Darul Fikr Al
Mu’ashir, Beirut, cet. II, 2007
Nasution, Mustafa Edwin,
dkk, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, Kencana, Jakarta, cet. III,
2010
Zuhaily, Wahbah, Al
Mu’amalat al Maliyah al Mu’ashirah, Darul Fikr, Damaskus, cet. VII, 2009
[1]
Mustafa Edwin Nasution, et. al, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,
Kencana, Jakarta, cet.III, 2010, hal.240
[2]
Ahmad Hasan, Auraq Naqdiyah Fi al Iqtisod al Islami, Dar al
Fikr,Damaskus, cet. II, 2007, hal. 56
[3]
Ahmad Hasan, op. cit hal.60
[4]
Bagian kurikulum fiqh muqaran al Azhar, qadaya Fiqhiyah Mu'ashirah,
jilid III
[5]
Mustafa Edwin Nasution, et. al, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,
Kencana, Jakarta, cet.III, 2010, hal. 247
[6]
Mustafa Edwin Nasution, op, cit hal. 240
[7]
Ibid, hal. 241
[9]
. Dr. Wahbah Zuhaili, al
Mu'amalah al Maliyah al Mu'ashirah, Dar Fikr, Damaskus, cet. VII, 2009,
hal.151
[10].
WWW.Facebook.com /modall.nekat,
diakses tanggal 11 maret 2012 jam 01.51
[11]
. Mustafa Edwin Nasution, et.
al, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana, Jakarta, cet.III, 2010,
hal.242
[12] (Al-Ghazali,
Ihya Ulumuddin, 4/91, hal 222).
[13] (Majmu’
Al Fatawa, 19/251-252)
[14] http://rozalinda.wordpress.com.
Diakses pada hari Ahad, 11 Maret 2012, pukul 22.45 WK
[15]
Dr. Muhammad Syaraf Dawabah, Al Iqtishad al Islamy Madkholun wa Manhajun,
Darussalam, Kairo, cet. I, 2010, hal. 184
[16] Mustafa
Edwin Nasution, et. al., Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, Kencana, Jakarta,
cet. III, 2010, hal. 248-249
[17] http://www.agustiantocentre.com.
Diakses pada hari Selasa, 6 Maret 2012, pukul 21.05 WK
[19] Bahjatul Musytaaq Fi Hukmi Zakaat
al-Auraaq annaqdiyah, kurdistan ilmiyah hal.67
[20]Al-uqud al-yaqutiyahfi jidil asilah al-kuwaitiyah libni
Badran, Kuwait , Hal 220,225
[21] Fatfhul ‘ali almaliki fil fatawa ‘ala madzhab malik,
riyad, jilid 1 hal 110
[22]
Fatawa as-Sa’diyyah, maktabah alma’arif, Riyadh hal 213 dan 229
[23] Alhalul madarik lil kasynawi, mesir, isa halabi, jil I
hal 370
[24] Fiqul zakat jil 1 hal 273 dan Fatawa Mu’asyiroh jil 1
hal 613
[25] Alfatawa Alislamiyyah, darul ifta mesir ,jil 5 hal 1778
[26] Alfatawa assa’diyah, hal 316, 318, 328
[27] Pertukaran dua barang ribawi yang memiliki illat
(sebab) yang sama dengan menagguhkan penyerahan keduanya atau salah satunya.
[29] Ahmad Hasan. Al Auraq Al Naqdiyah Fi Al- Iqtishad Al Islamy
(Qimatuha wa Ahkamuha) (Mata Uang Islami: Telaah Komprehensif Sistem Keuangan
Islami), (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hal. 273-274
[30] Dr. Ghazi
Husein Inayah, at-Tadakhum al-Maliyah, Muassasah Syabab al-Jamiah,
Iskandariyah, 2000, hal. 9
[31] Dr. Marwan
Ithwan, Maqayis Iqtishadiyah, Dar al-Ba’ts, Constantine, 1989, hal. 177
[32] Said Hathat, Dirasah
Iqtishadiyah wa Qiyasiyah li Zhahirah at-Tadakhum, Risalah Megister, 2006,
hal. 25
[33]
http://www.ut.ac.id
[34] Adwin S
Atmadja, Inflasi di Indonesia, Sumber-Sumber Penyebab dan Pengendaliannya,
Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 1, No. 1, Mei 1999, hal. 54
[35] Ibid.
Hal. 60
[37] Cadangan
devisa adalah simpanan mata uang asing oleh bank sentral dan otoritas moneter.
Simpanan ini merupakan asset bank sentral yang tersimpan dalam beberapa mata
uang cadangan (reserve currency) seperti dolar, euro, atau yen, dan digunakan
untuk menjamin kewajibannya, yaitu mata uang lokal yang diterbitkan, dan
cadangan berbagai bank yang disimpan di bank sentral oleh pemerintah atau
lembaga keuangan. Kegunaan umum cadangan devisa adalah untuk membiayai impor
dan pembayaran utang luar negeri. Cadangan devisa dapat digunakan untuk
mengatur nilai tukar. Sebagai contoh, apabila pemerintah ingin rupiah mengalami
penguatan, maka cadangan devisa dalam bentuk dolar atau mata uang lain dapat
dilepaskan untuk membeli rupiah.
By: Muhammad Agus
Setiawan, Adam Wahid, Noer Qosyin, dan Muhammad Rakhmat Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar