Oleh: Fauzul Hanif NA
A.
Definisi dan Sejarah Ekonomi
Islam
Sistem
ekonomi Islam jika diterjemahkan ke bahasa arab akan menjadi an nizhôm al
iqtishâd al islâmy. Secara harfiah al iqtishâd (ekonomi) berarti qashada:
bertujuan dalam suatu perkara, tidak berlebihan, berhemat dalam membelanjakan
uang atau tidak boros sebagaimana tertera di buku Lisanul Arab milik Ibnu
Manzur. Adapun secara terminologi berarti ilmu yang mempelajari tentang segala
sesuatu yang diturunkan oleh syariat Islam sehubungan dengan al iqtishâd
dalam 3 permasalahannya: aqidah, fiqh dan akhlaq[1].
Dengan
bahasa lain bahwasanya istilah ekonomi Islam berarti analisa tentang hal-hal
seputar ekonomi yang berasaskan hukum-hukum syariah. Sebagaimana ketika istilah
ekonomi ini disandingkan dengan fiqh akan mengandung analisa perkara
perkonomian ditinjau dari segi-segi fiqhnya[2].
Adapun
istilah ekonomi Islam sendiri belum muncul pada zaman Rasul, melainkan baru ada
pada akhir dari abad ke-14 hijriah[3].
Tetapi meskipun begitu substansi dari istilah tersebut sudah muncul bersamaan
dengan tumbuhnya hukum-hukum Islam. Jadi sistem perkonomian pada zaman ini
walau tidak mengenal istilahnya secara terminologi, tetapi pada prakteknya
fokus mereka sudah tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi,
pertumbuhan dan kebebasan. Fokus-fokus tadi merupakan gambaran spirit dan objek
utama dari pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal[4].
Perkembangan
selanjutnya dari ekonomi Islam ini kemudian tidak jauh dari sejarah
perkembangan fiqh itu sendiri[5].
Hal itu tidak lain karena asas dari ekonomi Islam adalah mu’amalah yang
disyariahkan dalam Qur’an dan Sunnah. Tetapi yang perlu dicatat adalah beberapa
buku yang memuat tentang perkonomian sebelum Islam masuk ke periode stagnansi[6]
sudah banyak dikarang oleh para ulama.[7]
B. Karakteristik
ekonomi Islam[8]
Sistem ekonomi Islam yang merupakan salah
satu bentuk dari sekian banyak jenis mu’amalah islami tentunya sejalan dan
berbanding lurus dengan kaidah-kaidah Islam. Dari sini bias dipastikan bahwa
sistem ekonomi Islam mempunyai ruh-ruh dan karakteristik tersindiri. Dr.
Dawabah menyebutkan setidaknya ada 5 jenis karakteristik ekonomi Islam
a. Spirit ketuhanan (Robbaniyah)
Sebagaimana diketahui bahwa Islam adalah
sebuah agama yang merujuk semua perkaranya kepada Allah dengan konsep
ketuhanan. Tidak hanya merujuk, bahkan segala kegiatan tujuannya adalah perkara
yang bersifat ketuhanan. Tentunya ini sangat berbeda dengan sistem-sistem
ekonomi konvensional yang tujuannya hanya member kepuasan pada diri tanpa
merujuk atau bertujuan selain dari itu.
Maka sebagaimana Islam selalu menanamkan akhlaq dan adab dalam segala aspek kehidupan diterapkan pula dalam hal
interaksi perkonomian. Islam telah mengajarkan bahwa manusia merupakan pemimpin
di muka bumi sebagaimana firmanNya “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.”[9]
Kemudian dilanjutkan dengan ayat “Dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah)
dan menjadikan kamu pemakmurnya.”[10]
Ditambah lagi dengan firmanNya “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah Telah menjadikan kamu menguasainya.”[11]
Jelas
penuturan ayat-ayat di atas jelas sudah rujukan serta tujuan dari sistem
ekonomi islam, yaitu sebuah asas ketuhanan. Sehingga nantinya dapat menciptakan
masyarakat yang tentram serta seimbang perkonomiannya.
b.
Keseluruhan (syumûliah)
Sistem
ekonomi Islam tidak lain
merupakan sebuah cakupan
dari ketetapan-ketetapan yang berlaku dalam Islam. Karena Islam merupakan
sebuah sistem yang mengatur segala aspek kehidupan yang masuk di dalamnya aspek
perekonomian. Dengan masuknya ekonomi sebagai salah satu aspek kehidupan dalam
Islam,
maka tidak mungkin ada produsen yang memproduksi barang di dasarkan atas
kemauannya saja. Tetapi dia juga pasti mempertimbangkan akan halal dan
haramnya. Para produsen tidak juga memproduksi sesuatu yang mengandung hal-hal
membahayakan konsumen atau lingkungannya. Dan berbagai perbuatan lainnya akan
disesuaikan dengan aspek dan ketentuan yang ada dalam Islam.
c.
Fleksibilitas (murûnah)
Kaidah-Kaidah
dalam Islam bersifat shôlihun
likulli zamân wa makân. Dengan bahasa yang mudah dipahami adalah bisa
diaplikasikan dalam berbagai dimensi waktu dan tempat. Tentunya hal itu berkaitan
erat dengan tsawabit (sesuatu yang sudah tetap) serta mutaghayyirat (hal
yang masih berubah-ubah) yang berasaskan hal-hal ushul (pokok) dalam
agama dan furu’nya (cabang)[12]. Dengan
model yang disebutkan tadi berbagai macam kejadian bisa disesuaikan dengan
hukum-hukum fiqh yang ada[13].
Tapi
fleksibilitas yang dimaksud di sini harus lebih ditinjau lagi. Dr. Rif’at Audhy
di salah satu bab dalam buku Mausu’atul Hadhoroh al Islamiyah
menerangkannya dengan cukup jelas. Fleksibilitas dalam Islam mempunyai sisi
yang tidak bisa diterima dan ada yang bisa. Adapun sisi yang tidak diterima
yaitu ketika suatu permasalahan bisa dihukumi dengan dua hukum yang berbeda
sesuai perbedaan kondisi alias kondisional. Karena yang seperti itu sama saja
mengatakan bahwa yang hukum-hukum Islamlah yang menyesuaikan keadaan, dan
bukannya keadaan yang merujuk pada hukum Islam. Sedangkan sisi yang bisa
diterima adalah ketika syariah yang sholih likulli zaman wa makân ini
mampu menghukumi perkembangan zaman[14].
Dr.
Rif’at Audhy menambahkan tentang fleksibilitas dalam Islam dengan bahasan ahkam
taklifiyah yang 5. Kemudian beliau menyebutkan bahwa salah satu jenis
hukumnya yaitu ibahah adalah sesuatu yang semakna dengan al
‘afwu dalam hadis Rasul
وما
سُكّت عنه فهو عفو
Ibnu
Taimiyah menyatakan perbuatan seorang hamba itu ada dua jenis: ibadah yang
dengannya orang memperbaiki agama mereka dan adat kebiasaan yang dibutuhkan di
dunia. Ibadah adalah sesuatu hal. Dengan adanya pokok-pokok syariah, maka kita
mengetahui bahwa ibadah yang ditetapkan olehNya tidak akan sah kecuali dengan
ketentuan yang ditetapkan syariah. Adapun adat adalah hal yang biasa dilakukan oleh
manusia di dunia, maka unsur pokoknya adalah tidak adanya larangan (al ashlu
fîhi ‘adamul hazhr) kecuali yang telah dilarang olehNya.[15]
Dengan
kaidah yang disebutkan maka kebanyakan perkara yang ada di ekonomi Islam berasaskan ibâhah
atau al ‘afwu. Maka dari penjelasan singkat Dr. Rif’at tadi semakin
memperluas ranah perkonomian Islam dengan menganggapnya ada pada asas ibâhah.
d.
Keseimbangan (tawâzun)
Islam
dan berbagai aspek hidupnya selalu berdasarkan keseimbangan antara dua sisinya.
Sebagaimana keseimbangan antara dunia dan akhirat[16]
dan juga keseimbangan antara iman dan perekonomian[17]
serta keseimbangan antara boros dan kikir[18].
Islam juga memberi keselarasan antara kebutuhan rohani dan kebutuhan materi
dengan memberi porsi yang sesuai antara keduanya[19].
Hal
penting lain dari konsep keseimbangan ini adalah sebuah sikap yang tidak
condong pada kapitalis ataupun sosialis. Islam punya kedudukannya sendiri dalam
hal ini, yaitu berada di antara keduanya dengan tidak menafikan kepemilikan
individual ataupun kepemilikan sosial sebagaimana yang akan dibahas lebih dalam
di bab lain dari makalah ini. Islam memiliki batasan-batasannya sendiri antara
kepentingan negara dan individual dalam ekonomi sehingga dapat menyeimbangkan
antara keduanya.
Asas
dari kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan individual karena hal itu
dianggap sesuatu yang fitrah dalam Islam. Karena kepemilikan individual ini
merupakan pemeran utama dalam kinerja produksi. Sedangkan kepemilikan umum baru
dianggap pada saat-saat tertentu sehingga memaksa negara untuk turun tangan
dalam menyelesaikannya. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan konsep
kapitalisme yang benar-benar meniadakan peran negara dalam mekanisme ekonomi.
ataupun konsep sosialisme membangun asas perkonomian mereka atas kepemilikan
umum yang malah mengurangi gairah untuk berproduksi[20].
Rumusan
kapitalis dan sosialis memang sangat berbeda denga Islam yang mengatur hubungan
antara individual dan negara dalam ranah perkonomian. Islam menyatakan bahwa
keduanya itu saling melengkapi, dimana setiap dari keduanya mempunyai denah
aplikasi masing-masing hingga tidak bertentangan. Selain itu keduanya merupakan
kutub yang saling berhubungan dan tidak berdiri sendiri. Maka dari itu,
pertumbuhan ekonomi dalam Islam menjadi kewajiban negara dan individual secara
bersamaan.
Dengan
begini setidaknya batasan antara kebebasan dan intervensi pemerintah dalam
mekanisme ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, negara bukanlah suatu unsur yang
bertentangan ataupun pengganti dari unsur lain, melainkan unsur pelengkap.
Seperti melakukan hal-hal yang sepertinya agak sulit dilakukan secara individu
layaknya perbaikan jalan, jembatan, dll. Bahkan posisi negara terkadang menjadi
sangat penting layaknya saat kekurangan lembaga pendidikan atau lembaga kesehatan
di suatu daerah[21].
Jelas
sudah bahwa intervensi negara dalam ekonomi Islam tidaklah sesuatu yang
bertentangan dengan kebebasan individual. Bahkan ia menjadi unsur pelengkap
untuk menciptakan maslahat umum. Hal itu bisa disaksikan lagi dengan adanya kewajiban
zakat yang dikeluarkan oleh individual untuk selanjutnya dikelola oleh negara.
Di sini didapati bukan saja keseimbangan antara negara dan individu, tapi juga
keseimbangan dan kemerataan putaran harta. Sehingga pada akhirnya tidak
tercipta jurang pemisah yang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin[22].
e.
Keuniversalan (‘âlamiyyah)
Konsep
keuniversalan ini sudah ada sejak diutusnya Rasul ke atas bumi, karena tidak
lain diutusnya Rasul adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam[23]. Keuniversalan ekonomi Islam semakin terasa jelas setelah
datangnya krisis global yang melanda AS dan belahan negara lain pada tahun
2008. Karena sejak saat itu beberapa negara
barat mulai menerapkan ekonomi Islam. Bahkan salah satu yang pertama kali
menerapkannya adalah vatikan sendiri sebagaimana yang ditegaskan dalam salah
satu surat kabar resmi milik mereka yang bernama L’osservatore Romano edisi 6
Maret 2009[24].
Selain
itu Vincent Beaufils pimpinan redaksi Challenge, sebuah majalah Prancis
menuliskan sebuah artikel yang mempertanyakan moral dalam sistem ekonomi
kapitalis[25].
Hal itu tak jauh beda dengan yang diucapkan Roland Laskine, pemimpin redaksi
majalah Le Journal des Finance. Dia menuliskan sebuah artikel berjudul “apakah
Wall Street siap untuk menerima prinsip-prinsip hukum Islam?” Tulisan ini
bermula dari pendapat dia tentang pentingnya penerapan hukum Islam di ranah
perkonomian untuk meredam krisis yang terjadi di penjuru dunia[26].
C.
Dasar-dasar Sistem Ekonomi Islam
Maksud
penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah kepada Sang Pencipta,
sebagai mana juga dieperintahkan untuk memakmurkan bumiNya dengan adil. Maka
dari itu Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa dimanfaatkan dan menjadikan
manusia sebagai pemimpin di atas bumi itu agar dapat memanfaatkan segala yang
ada. Dari prinsip penciptaan dan konsep kepemimpinan manusia di atas bumi
setidaknya bisa ditarik benang merah untuk membangun prinsip ekonomi dalam
Islam, yaitu: kepemilikan ganda (kepemilikan individual dan kepemilikan umum),
kebebasan berkonomi, serta mengayomi kepentingan umum[27].
Tetapi di sini penulis berusaha fokus pada masalah kepemilikan ganda
(kepemilikan individual dan kepemilikan umum) yang bertentangan dengan sosialis
maupun kapitalis.
a.
Kepemilikan Individual
Manusia diciptakan dengan fitrah yang sudah ditetapkan
oleh Allah dan tidak akan keluar dari fitrah tersebut. Hal itu sesuai dengan
dengan firmanNya surat ar Rum ayat 30
“30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Kemudian ada sebuah hadits yang juga berbicara tentang hal yang
sama “Tidaklah seseorang itu dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka
kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”[28]
Ketika
fitrah yang dimaksudkan adalah hal yang mencakup segala aspek kehidupan, maka
apa sebenarnya fitrah manusia dalam hal keuangan dan perkonomian? Allah berfirman
dalam surat al ‘Adiyat ayat 8 “Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena
cintanya kepada harta.” Meskipun para ahli tafsir mempunyai perbedaan pendapat
tentang hakekat dari ‘berlebihan’ dalam hal kecintaan mereka ini, tapi
perbedaan itu tidak begitu jauh, yang intinya manusia itu menyukai harta. Dalam
Shohih Muslim disebutkan “Andai kata seorang anak Adam mempunyai 2 lembah yang
berisi harta, niscaya mereka akan mencari yang ketiga.”[29]
Berlandaskan
dari nash yang disebutkan di atas, maka syariah memberi jawaban untuk fitrah
dari model ekonomi Islam, yaitu kepemilikan individual.[30]
Tetapi kepemilikan individual di sini tidak sama sebagai mana yang ada pada kapitalisme yang
malah menjerumuskan manusia pada kecintaan materi.[31] Maka
kepemilikan individual dalam Islam memiliki batas-batas, ketentuannya, serta
kewajibannya sendiri[32] yang
nantinya akan saling melengkapi dengan kepemilikan umum sebagaimana disebutkan
pada pembahasan sebelum ini.
Al
Qur’an juga menerangkan dalam beberapa ayat yang menisbahkan harta kepada
individual, diantaranya adalah “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.”[33]
Atau ayat lain “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu
pokok hartamu.”[34].
Jika dihitung, maka setidaknya kita akan mendapatkan 54 ayat yang menisbahkan
harta kepada individual, dan itu belum termasuk bentuk kalimat yang tidak
langsung.[35]
Kepemilikan
individual yang sudah dijelaskan di atas sama sekali tidak bertentangan dengan
prinsip kepemilikan mutlak yang dinisbahkan kepada Sang Pencipta Alam. Atau
dengan kata lain bahwa pemilik haqiqi sebenarnya Allah. Disebutkan dalam
firmanNya “107. Tiadakah kamu mengetahui
bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?”[36] Maka
Dialah Sang Pemilik yang mempunyai segalanya tanpa batasan dan ketentuan.
Adapun posisi dan fungsi manusia tidak lain hanyalah sebagai khalifah di atas
bumi.
Tidak
adanya pertentangan antara kepemilikan haqiqiNya dengan kepemilikan individual
manusia sebagai khalifah di atas bumi ini tidak jauh beda dengan kepemilikan
ilmu yang dinisbahkan kepadaNya juga. Allah mempunyai sifat al milku (kepemilikan)
dan juga sifat al ‘ilmu, ar rahmân dan berbagai macam sifat lainnya.
Sebagaimana manusia memiliki al ‘ilmu dan ar rahmân dengan
karakteristiknya sebagai ‘yang diciptakan’ dan bukan Yang Menciptakan. Maka
dari itu tidak mungkin kita sifati manusia dengan al ‘ilmu yang dimiliki
Sang Pencipta. Kita menyandarkan suatu sifat kepada manusia tidak lain
berdasarkan pada sesuatu parsial, dan bukan keuniversalan dari sifat tadi
karena sifat-sifat tersebut tidak lain adalah milikNya semata.[37]
b.
Kepemilikan Umum
Dr.
Robi’ Mahmud Ruby menerangkan yang dimaksud dengan kepemilikan umum dalam Islam
yaitu segala sesuatu yang bukan merupakan kepemilikan individual.[38] Di
sini Dr. Robi’ membagi kepemilikan individual menjadi 2[39]:
1.
Kepemilikan negara
Dr.
Robi’ menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan negara di sini bisa
diartikan layaknya kepemilikan individual milik negara. Maka yang termasuk
dalam golongan ini adalah berbagai firma serta perusahaan atau lembaga-lembaga
lain yang mana seorang pemimpin negara atau pejabat pemerintahan mempunyai hak
dalam mengelolanya. Tentunya hak ini berasaskan maslahat dari rakyat sang
pemimpin tersebut[40].
Sedangkan Dr. Dawabah menambahkan bahwa yang termasuk dalam golongan ini
nantinya bisa menjadi sumber pemasukan untuk baitul mal yang kemudian
pemerintah menggunakannya untuk hal-hal yang mengandung maslahat umum[41].
2.
Kepemilikan majemuk dari masyarakat
Sudah
maklum bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari beberapa orang atau individu.
Maka yang dimaksudkan dengan kepemilikan majemuk ini adalah segala jenis sumber
daya yang bisa dipergunakan oleh majemuk dari masyarakat dimana tidak ada satu
individu yang boleh memilikinya secara pribadi. Diantaranya adalah jalan, air,
api, rumput lapang, jembatan[42]
dan sumber daya lain yang sejenisnya[43].
Maka dalam bahasa lain bisa diartikan bahwa kepemilikan majemuk di sini adalah sumber
daya yang dihasilkan tanpa adanya ikut campur satu orang pun di dalamnya.
Selain itu sumber-sumber tersebut bisa didapatkan dengan mudah, ditambah lagi
bahwa wujudnya adalah sesuatu yang primer bagi kalangan majemuk[44].
Ada
sebuah atsar yang sangat pas untuk menggambarkan posisi pemimpin dari
pada kepemilikan umum ini. Umar bin Khattab berkata “barang siapa yang ingin
meminta harta (umum) maka hendaklah ia datang padaku. Karena sesungguhnya Allah
SWT telah menjadikan aku penjaga (khâzin) baginya.” Dari ungkapan yang
singkat ini setidaknya dapat diambil dua hal. Yang pertama adalah tugas seorang
khalifah, yaitu menjaga serta mendistribusikan harta tadi dengan adil. Yang
kedua bahwasanya pemerintahan tidak berkepentingan untuk ikut andil dalam
masalah produksi. Tugas pemerintah tidak lain memberi pengarahan dan peninjauan[45].
Inilah
sistem Islam yang memadukan antara kepemilikan individual dan kepemilikan umum
serta membuat batasan dan aturan antara keduanya. Diantara kelebihannya adalah
seputar penetapan zakat, kharraj, jizyah, usyur, dan lain sebagainya. Dan era kegemilangan
Islam pada zaman abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Harun ar Rasyid
tidak lepas dari peletakan dasar ekonomi Islam yang matang dan rapi serta
pelaksanaannya yang penuh amanat. Bahkan diantara syarat untuk menjadi pegawai
pajak adalah baik agamanya, amanat, menguasai ilmu fikih dan lain-lain
sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al Kharraj milik Abu Yusuf[46].
Tidak
heran dengan ketetapan-ketetapan finansial yang berasaskan agama dalam buku al
Kharraj menjadikan umat Islam pada masa Abasiyah merasakan kemakmuran yang
dahsyat. Tercatat bahwa dari pajak kharraj saja pada masa Harun ar
Rasyid mencapai 7 juta dirham dan kemudian meningkat pesat pada masa al
Mu’tashim menjadi 30 miliar dirham[47].
Itu baru dihitung dari segi kharraj tanpa memasukkan sumber pendapatan
lain dari berbagai macam jenis keuangan publik seperti zakat dan lain
sebagainya.
[1] Dr.
Rif’at Audhy, al Mausu’ah al Islâmiyah al ‘Ammah, atas naungan Dr.
Mahmud Hamdy Zaqzuq, dengan judul al Iqtishâd al Islâmy, al Majlis al A’lâ li
Syu`un al Islâmiyah, Kairo, cet. 2008, hal. 189.
[2] Ibid,
hal. 189
[3] Dr.
Dawabah, op.cit, hal. 26
[4]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Rajawali
Press, Jakarta, cet. III, 2010, hal. 10
[5] Fiqh
dalam perkembangannya mempunyai 4 periode: masa pembentukan, masa pembangunan
dan penyempurnaan, masa taklid dan stagnan, masa kebangkitan. Lihat, Dr.Rasyad
Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ al-Islami, diktat Universitas al-Azhar
jurusan syari’ah tingkat 1, hal.
48
[6] Periode
stagnansi dalam Islam terjadi sekitar pertengahan abad ke 4 hijriah, dimana
pintu ijtihad ditutup sehingga para ulama hanya bisa bertaklid pada 4 Imam yang
telah melahirkan banyak ilmu pada periode pembangunan.
[7]
Diantaranya adalah al Kharraj milik Abu Yusuf, al Iktisâb fî
ar Rizqi al Mustathâb milik Muhammad bin Hasan Assyaibani, al Amwal
milik Abu ‘Ubaid al Qashim dan berbagai macam karangan lainnya.
[9] QS. Al
Baqarah: 30
[10] QS.
Hûd: 61
[11] QS. Al
Hadid: 7
[12] Ibid,
hal. 57
[13]
Hukum-hukum fiqh tidak akan pernah lepas dari wajib, mandub, haram,
makruh, mubah.
[14] Dr.
Rif’at Audhy, Mausu’ah al Hadhoroh al Islamiyah atas naungan Dr.
Mahmud Hamdy Zaqzuq, dengan judul at Tasyri’ al Iqtishâdy , al Majlis al A’lâ
li Syu`un al Islâmiyah, Kairo, cet. 2005, , hal. 280.
[15] Dr.
Rif’at Audhy, ibid, hal. 276.
[16]
Sebagaimana tersirat dalam firmanNya surat al Qashash ayat 77 “Dan
carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”
[17] Sesuai
firmanNya “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS.
Al A’raf: 96)
[18] Hal itu
bisa dilihat dari firmanNya “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al Furqan: 67)
[19] Seperti
yang diperintahkan oleh Allah tentang masalah perniagaan di hari Jum’at dalam
firmanNya “Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 10)
[20] Dr.
Muhammad Syauqi Finjary, ibid, dengan judul al Hurriyah al
Iqtishodiyah, hal. 306
[21] Menurut
Dr. Finjary, terkadang kedudukan negara
bisa menjadi fardhu kifayah seperti pada permasalahan perbaikan
jembatan. Dan bahkan terkadang menjadi fardhu ‘ain seperti di saat
ketiadaan lembaga pendidikan dan lembaga kesahatan. Lihat kembali ibid, hal.
308
[22] Sesuai
dengan firmanNya surat al Hasyr ayat 7 “supaya harta itu jangan beredar di
antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.”
[23] Al
Qur’an surat al Anbiya` ayat 107 menyatakan “Dan tiadalah kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
[24]
Diantara kalimat yang tertera pada surat kabar tersebut adalah
“Pendidikan mental dan akhlaq yang mana Islam berkonsentrasi di dalamnya
memiliki pendekatan antara bank dan nasabah dengan cara yang lebih baik dari sebelumnya.
Ditambah lagi dengan prinsip-prinsip
kokoh perbankan yang mempunyai spirit khusus, dimana seharusnya dimiliki setiap
lembaga keuangan.” Lebih lengkapanya lihat, situs ekonomi Saudi edisi 5626,
Sabtu, 7 Maret 2009 (http://www.aleqt.com/2009/03/07/article_202253.html)
[25]
Kalimatnya berbunyi seperti ini “Sepertinya pada masa krisis ini kita
membutuhkan untuk lebih banyak membaca Qur’an ketimbang Injil untuk memahami
apa yang terjadi dengan bank-bank kita. Karena andai saja para ekonom dan
bankir kita memperhatikan apa yang tersirat dari ajaran-ajaran serta hukum
Qur’an tidak akan terjadi bencana serta krisis seperti yang kita jumpai
sekarang. Karena uang tidak akan pernah melahirkan uang.” Lihat, Dr. Asyraf
Muhammad Dawabah, op.cit. hal. 60 atau http://www.challenges.fr/magazine/0135-016203/le_pape_ou_le_coran.html atau ringkasannya di http://www.algerie-dz.com/forums/archive/index.php/t-97017.html
[26] Lihat
selengkapnya di http://blog.lefigaro.fr/laskine/2008/09/wall-street-mur-pour-adopter-l.html
[27] Dr.
Asyraf Muhammad Dawabah, op.cit hal. 61.
[28]
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah.
[29] Riwayat
lengkapnya berbunyi “Andai kata seorang anak Adam mempunyai 2 lembah yang
berisi harta, niscaya mereka akan mencari yang ketiga. Dan tidaklah seorang
keturunan Adam itu mengisi lambungnya melainkan dengan debu, dan Allah
mengampuni hambanya yang bertaubat.” Lihat kembali Shohih Muslim, Kitabu Zakat,
bab Karahatul Hirshi ‘alad Dunya
[30] Dr.
Muhammad Baltagy, al Milkiyah al Fardiyyah fi an Nizhôm al Iqtishâdy al
Islâmy, Darussalam, Kairo, 2007, cet. I, hal. 45
[31] Dalam
Shohih Bukhari disebutkan salah satu riwayat berbunyi “celakalah hamba dinar
dan dirham”
[32]
Diantara kewajiban yang ada pada kepemilikan individual adalah nafkah,
zakat serta hak-hak yang berkaitan dengannya menurut para ulama, denda (diyât),
tebusan (kaffârât), upeti, hak-hak tetangga dan hak-hak wali dalam hal
yang berkaitan dengan kepemilikan. Lihat, ibid, hal. 169
[33] QS. Al
Baqarah: 188
[34] QS. Al
Baqarah: 279
[35] Dr.
Muhammad Baltagy Op. Cit hal: 46
[36] QS. Al
Baqarah: 107
[37] Dr.
Muhammad Baltagy, op.cit hal. 48
[38] Dr.
Robi’ Mahmud Ruby, al Milkiyah al ‘Ammah fî shodril Islâm wa wazhîfatuha al
Iqtishâdiyah wal Ijtimâ’iah, Markaz Sholih Kamil lil Iqtishad al Islamy,
Kairo, cet. 2000, hal. 11
[39]
Pembagian ini sebenarnya bukan hanya dilakukan oleh Dr. Robi’, tetapi
Dr. Asyraf Muhammad dan juga para ahli ekonom Islam sepakat membedakan jenis
kepemilikan umum menjadi dua.
[40] Ibid,
hal. 11
[41] Dr.
Dawabah, op.cit, hal. 69
[42] Dari
Sunan Ibnu Majah Rasul bersabda “al muslimûna syurakâu fî tsalâtsin: al
mâ`u, wal kala` u, wan nâru.” (Muslim itu berbaur dalam 3 hal: air, padang
rumput dan api)
[43] Lihat
kembali, Dr. Rabi’, op.cit hal. 11
[44] Dr.
Dawabah, op.cit, hal. 68
[45] Dr.
Rabi’, op.cit, hal.
[46]
Setidaknya ada 10 syarat yang disebutkan Abu Yusuf, yaitu: baik
agamanya, amanah, menguasai ilmu fikih, pintar, suka bermusyawarah, menjaga
harga diri (afîf), berani membela kebenaran, berorientasi akhirat dalam
menjalankan kewajiban, jujur dan tidak zhalim. Lihat, Nurul Huda dan Ahmad
Muti, Keuangan Publik Islami Pendekatan al Kharrâj (Imam Abu Yusuf),
Ghalia Indonesia, Bogor, cet. I, 2011 hal. 85
[47] Ibid,
hal. 85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar