Halaman

Kamis, 24 Januari 2013

Sistem Ekonomi Islam



Oleh: Fauzul Hanif NA
A.     Definisi dan Sejarah Ekonomi Islam
Sistem ekonomi Islam jika diterjemahkan ke bahasa arab akan menjadi an nizhôm al iqtishâd al islâmy. Secara harfiah al iqtishâd (ekonomi) berarti qashada: bertujuan dalam suatu perkara, tidak berlebihan, berhemat dalam membelanjakan uang atau tidak boros sebagaimana tertera di buku Lisanul Arab milik Ibnu Manzur. Adapun secara terminologi berarti ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang diturunkan oleh syariat Islam sehubungan dengan al iqtishâd dalam 3 permasalahannya: aqidah, fiqh dan akhlaq[1].
Dengan bahasa lain bahwasanya istilah ekonomi Islam berarti analisa tentang hal-hal seputar ekonomi yang berasaskan hukum-hukum syariah. Sebagaimana ketika istilah ekonomi ini disandingkan dengan fiqh akan mengandung analisa perkara perkonomian ditinjau dari segi-segi fiqhnya[2].
Adapun istilah ekonomi Islam sendiri belum muncul pada zaman Rasul, melainkan baru ada pada akhir dari abad ke-14 hijriah[3]. Tetapi meskipun begitu substansi dari istilah tersebut sudah muncul bersamaan dengan tumbuhnya hukum-hukum Islam. Jadi sistem perkonomian pada zaman ini walau tidak mengenal istilahnya secara terminologi, tetapi pada prakteknya fokus mereka sudah tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan. Fokus-fokus tadi merupakan gambaran spirit dan objek utama dari pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal[4].
Perkembangan selanjutnya dari ekonomi Islam ini kemudian tidak jauh dari sejarah perkembangan fiqh itu sendiri[5]. Hal itu tidak lain karena asas dari ekonomi Islam adalah mu’amalah yang disyariahkan dalam Qur’an dan Sunnah. Tetapi yang perlu dicatat adalah beberapa buku yang memuat tentang perkonomian sebelum Islam masuk ke periode stagnansi[6] sudah banyak dikarang oleh para ulama.[7]

B.     Karakteristik ekonomi Islam[8]
Sistem ekonomi Islam yang merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak jenis mu’amalah islami tentunya sejalan dan berbanding lurus dengan kaidah-kaidah Islam. Dari sini bias dipastikan bahwa sistem ekonomi Islam mempunyai ruh-ruh dan karakteristik tersindiri. Dr. Dawabah menyebutkan setidaknya ada 5 jenis karakteristik ekonomi Islam
a.       Spirit ketuhanan (Robbaniyah)
Sebagaimana diketahui bahwa Islam adalah sebuah agama yang merujuk semua perkaranya kepada Allah dengan konsep ketuhanan. Tidak hanya merujuk, bahkan segala kegiatan tujuannya adalah perkara yang bersifat ketuhanan. Tentunya ini sangat berbeda dengan sistem-sistem ekonomi konvensional yang tujuannya hanya member kepuasan pada diri tanpa merujuk atau bertujuan selain dari itu.
Maka sebagaimana Islam selalu menanamkan akhlaq dan adab dalam segala aspek kehidupan diterapkan pula dalam hal interaksi perkonomian. Islam telah mengajarkan bahwa manusia merupakan pemimpin di muka bumi sebagaimana firmanNya “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”[9] Kemudian dilanjutkan dengan ayat “Dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.”[10] Ditambah lagi dengan firmanNya “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah Telah menjadikan kamu menguasainya.”[11]
Jelas penuturan ayat-ayat di atas jelas sudah rujukan serta tujuan dari sistem ekonomi islam, yaitu sebuah asas ketuhanan. Sehingga nantinya dapat menciptakan masyarakat yang tentram serta seimbang perkonomiannya.
b.      Keseluruhan (syumûliah)
Sistem ekonomi Islam tidak lain merupakan sebuah cakupan dari ketetapan-ketetapan yang berlaku dalam Islam. Karena Islam merupakan sebuah sistem yang mengatur segala aspek kehidupan yang masuk di dalamnya aspek perekonomian. Dengan masuknya ekonomi sebagai salah satu aspek kehidupan dalam Islam, maka tidak mungkin ada produsen yang memproduksi barang di dasarkan atas kemauannya saja. Tetapi dia juga pasti mempertimbangkan akan halal dan haramnya. Para produsen tidak juga memproduksi sesuatu yang mengandung hal-hal membahayakan konsumen atau lingkungannya. Dan berbagai perbuatan lainnya akan disesuaikan dengan aspek dan ketentuan yang ada dalam Islam.
c.       Fleksibilitas (murûnah)
Kaidah-Kaidah dalam Islam bersifat shôlihun likulli zamân wa makân. Dengan bahasa yang mudah dipahami adalah bisa diaplikasikan dalam berbagai dimensi waktu dan tempat. Tentunya hal itu berkaitan erat dengan tsawabit (sesuatu yang sudah tetap) serta mutaghayyirat (hal yang masih berubah-ubah) yang berasaskan hal-hal ushul (pokok) dalam agama dan furu’nya (cabang)[12]. Dengan model yang disebutkan tadi berbagai macam kejadian bisa disesuaikan dengan hukum-hukum fiqh yang ada[13].
Tapi fleksibilitas yang dimaksud di sini harus lebih ditinjau lagi. Dr. Rif’at Audhy di salah satu bab dalam buku Mausu’atul Hadhoroh al Islamiyah menerangkannya dengan cukup jelas. Fleksibilitas dalam Islam mempunyai sisi yang tidak bisa diterima dan ada yang bisa. Adapun sisi yang tidak diterima yaitu ketika suatu permasalahan bisa dihukumi dengan dua hukum yang berbeda sesuai perbedaan kondisi alias kondisional. Karena yang seperti itu sama saja mengatakan bahwa yang hukum-hukum Islamlah yang menyesuaikan keadaan, dan bukannya keadaan yang merujuk pada hukum Islam. Sedangkan sisi yang bisa diterima adalah ketika syariah yang sholih likulli zaman wa makân ini mampu menghukumi perkembangan zaman[14].
Dr. Rif’at Audhy menambahkan tentang fleksibilitas dalam Islam dengan bahasan ahkam taklifiyah yang 5. Kemudian beliau menyebutkan bahwa salah satu jenis hukumnya yaitu ibahah adalah sesuatu yang semakna dengan al ‘afwu dalam hadis Rasul
وما سُكّت عنه فهو عفو
Ibnu Taimiyah menyatakan perbuatan seorang hamba itu ada dua jenis: ibadah yang dengannya orang memperbaiki agama mereka dan adat kebiasaan yang dibutuhkan di dunia. Ibadah adalah sesuatu hal. Dengan adanya pokok-pokok syariah, maka kita mengetahui bahwa ibadah yang ditetapkan olehNya tidak akan sah kecuali dengan ketentuan yang ditetapkan syariah. Adapun adat adalah hal yang biasa dilakukan oleh manusia di dunia, maka unsur pokoknya adalah tidak adanya larangan (al ashlu fîhi ‘adamul hazhr) kecuali yang telah dilarang olehNya.[15]
Dengan kaidah yang disebutkan maka kebanyakan perkara yang ada di ekonomi Islam berasaskan ibâhah atau al ‘afwu. Maka dari penjelasan singkat Dr. Rif’at tadi semakin memperluas ranah perkonomian Islam dengan menganggapnya ada pada asas ibâhah.
d.      Keseimbangan (tawâzun)
Islam dan berbagai aspek hidupnya selalu berdasarkan keseimbangan antara dua sisinya. Sebagaimana keseimbangan antara dunia dan akhirat[16] dan juga keseimbangan antara iman dan perekonomian[17] serta keseimbangan antara boros dan kikir[18]. Islam juga memberi keselarasan antara kebutuhan rohani dan kebutuhan materi dengan memberi porsi yang sesuai antara keduanya[19].
Hal penting lain dari konsep keseimbangan ini adalah sebuah sikap yang tidak condong pada kapitalis ataupun sosialis. Islam punya kedudukannya sendiri dalam hal ini, yaitu berada di antara keduanya dengan tidak menafikan kepemilikan individual ataupun kepemilikan sosial sebagaimana yang akan dibahas lebih dalam di bab lain dari makalah ini. Islam memiliki batasan-batasannya sendiri antara kepentingan negara dan individual dalam ekonomi sehingga dapat menyeimbangkan antara keduanya.
Asas dari kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan individual karena hal itu dianggap sesuatu yang fitrah dalam Islam. Karena kepemilikan individual ini merupakan pemeran utama dalam kinerja produksi. Sedangkan kepemilikan umum baru dianggap pada saat-saat tertentu sehingga memaksa negara untuk turun tangan dalam menyelesaikannya. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan konsep kapitalisme yang benar-benar meniadakan peran negara dalam mekanisme ekonomi. ataupun konsep sosialisme membangun asas perkonomian mereka atas kepemilikan umum yang malah mengurangi gairah untuk berproduksi[20].
Rumusan kapitalis dan sosialis memang sangat berbeda denga Islam yang mengatur hubungan antara individual dan negara dalam ranah perkonomian. Islam menyatakan bahwa keduanya itu saling melengkapi, dimana setiap dari keduanya mempunyai denah aplikasi masing-masing hingga tidak bertentangan. Selain itu keduanya merupakan kutub yang saling berhubungan dan tidak berdiri sendiri. Maka dari itu, pertumbuhan ekonomi dalam Islam menjadi kewajiban negara dan individual secara bersamaan.
Dengan begini setidaknya batasan antara kebebasan dan intervensi pemerintah dalam mekanisme ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, negara bukanlah suatu unsur yang bertentangan ataupun pengganti dari unsur lain, melainkan unsur pelengkap. Seperti melakukan hal-hal yang sepertinya agak sulit dilakukan secara individu layaknya perbaikan jalan, jembatan, dll. Bahkan posisi negara terkadang menjadi sangat penting layaknya saat kekurangan lembaga pendidikan atau lembaga kesehatan di suatu daerah[21].
Jelas sudah bahwa intervensi negara dalam ekonomi Islam tidaklah sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan individual. Bahkan ia menjadi unsur pelengkap untuk menciptakan maslahat umum. Hal itu bisa disaksikan lagi dengan adanya kewajiban zakat yang dikeluarkan oleh individual untuk selanjutnya dikelola oleh negara. Di sini didapati bukan saja keseimbangan antara negara dan individu, tapi juga keseimbangan dan kemerataan putaran harta. Sehingga pada akhirnya tidak tercipta jurang pemisah yang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin[22].
e.       Keuniversalan (‘âlamiyyah)
Konsep keuniversalan ini sudah ada sejak diutusnya Rasul ke atas bumi, karena tidak lain diutusnya Rasul adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam[23]. Keuniversalan ekonomi Islam semakin terasa jelas setelah datangnya krisis global yang melanda AS dan belahan negara lain pada tahun 2008. Karena sejak saat itu beberapa negara barat mulai menerapkan ekonomi Islam. Bahkan salah satu yang pertama kali menerapkannya adalah vatikan sendiri sebagaimana yang ditegaskan dalam salah satu surat kabar resmi milik mereka yang bernama L’osservatore Romano edisi 6 Maret 2009[24].
Selain itu Vincent Beaufils pimpinan redaksi Challenge, sebuah majalah Prancis menuliskan sebuah artikel yang mempertanyakan moral dalam sistem ekonomi kapitalis[25]. Hal itu tak jauh beda dengan yang diucapkan Roland Laskine, pemimpin redaksi majalah Le Journal des Finance. Dia menuliskan sebuah artikel berjudul “apakah Wall Street siap untuk menerima prinsip-prinsip hukum Islam?” Tulisan ini bermula dari pendapat dia tentang pentingnya penerapan hukum Islam di ranah perkonomian untuk meredam krisis yang terjadi di penjuru dunia[26].

C.     Dasar-dasar Sistem Ekonomi Islam
Maksud penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah kepada Sang Pencipta, sebagai mana juga dieperintahkan untuk memakmurkan bumiNya dengan adil. Maka dari itu Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa dimanfaatkan dan menjadikan manusia sebagai pemimpin di atas bumi itu agar dapat memanfaatkan segala yang ada. Dari prinsip penciptaan dan konsep kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya bisa ditarik benang merah untuk membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu: kepemilikan ganda (kepemilikan individual dan kepemilikan umum), kebebasan berkonomi, serta mengayomi kepentingan umum[27]. Tetapi di sini penulis berusaha fokus pada masalah kepemilikan ganda (kepemilikan individual dan kepemilikan umum) yang bertentangan dengan sosialis maupun kapitalis.
a.       Kepemilikan Individual
Manusia diciptakan dengan fitrah yang sudah ditetapkan oleh Allah dan tidak akan keluar dari fitrah tersebut. Hal itu sesuai dengan dengan firmanNya surat  ar Rum ayat 30 “30.  Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Kemudian ada sebuah hadits yang juga berbicara tentang hal yang sama “Tidaklah seseorang itu dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”[28]
Ketika fitrah yang dimaksudkan adalah hal yang mencakup segala aspek kehidupan, maka apa sebenarnya fitrah manusia dalam hal keuangan dan perkonomian? Allah berfirman dalam surat al ‘Adiyat ayat 8 “Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena cintanya kepada harta.” Meskipun para ahli tafsir mempunyai perbedaan pendapat tentang hakekat dari ‘berlebihan’ dalam hal kecintaan mereka ini, tapi perbedaan itu tidak begitu jauh, yang intinya manusia itu menyukai harta. Dalam Shohih Muslim disebutkan “Andai kata seorang anak Adam mempunyai 2 lembah yang berisi harta, niscaya mereka akan mencari yang ketiga.”[29]
Berlandaskan dari nash yang disebutkan di atas, maka syariah memberi jawaban untuk fitrah dari model ekonomi Islam, yaitu kepemilikan individual.[30] Tetapi kepemilikan individual di sini tidak sama  sebagai mana yang ada pada kapitalisme yang malah menjerumuskan manusia pada kecintaan materi.[31] Maka kepemilikan individual dalam Islam memiliki batas-batas, ketentuannya, serta kewajibannya sendiri[32] yang nantinya akan saling melengkapi dengan kepemilikan umum sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelum ini.
Al Qur’an juga menerangkan dalam beberapa ayat yang menisbahkan harta kepada individual, diantaranya adalah “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.”[33] Atau ayat lain “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu.”[34]. Jika dihitung, maka setidaknya kita akan mendapatkan 54 ayat yang menisbahkan harta kepada individual, dan itu belum termasuk bentuk kalimat yang tidak langsung.[35]
Kepemilikan individual yang sudah dijelaskan di atas sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip kepemilikan mutlak yang dinisbahkan kepada Sang Pencipta Alam. Atau dengan kata lain bahwa pemilik haqiqi sebenarnya Allah. Disebutkan dalam firmanNya “107.  Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?”[36] Maka Dialah Sang Pemilik yang mempunyai segalanya tanpa batasan dan ketentuan. Adapun posisi dan fungsi manusia tidak lain hanyalah sebagai khalifah di atas bumi.
Tidak adanya pertentangan antara kepemilikan haqiqiNya dengan kepemilikan individual manusia sebagai khalifah di atas bumi ini tidak jauh beda dengan kepemilikan ilmu yang dinisbahkan kepadaNya juga. Allah mempunyai sifat al milku (kepemilikan) dan juga sifat al ‘ilmu, ar rahmân dan berbagai macam sifat lainnya. Sebagaimana manusia memiliki al ‘ilmu dan ar rahmân dengan karakteristiknya sebagai ‘yang diciptakan’ dan bukan Yang Menciptakan. Maka dari itu tidak mungkin kita sifati manusia dengan al ‘ilmu yang dimiliki Sang Pencipta. Kita menyandarkan suatu sifat kepada manusia tidak lain berdasarkan pada sesuatu parsial, dan bukan keuniversalan dari sifat tadi karena sifat-sifat tersebut tidak lain adalah milikNya semata.[37]
b.      Kepemilikan Umum
Dr. Robi’ Mahmud Ruby menerangkan yang dimaksud dengan kepemilikan umum dalam Islam yaitu segala sesuatu yang bukan merupakan kepemilikan individual.[38] Di sini Dr. Robi’ membagi kepemilikan individual menjadi 2[39]:
1.      Kepemilikan negara
Dr. Robi’ menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan negara di sini bisa diartikan layaknya kepemilikan individual milik negara. Maka yang termasuk dalam golongan ini adalah berbagai firma serta perusahaan atau lembaga-lembaga lain yang mana seorang pemimpin negara atau pejabat pemerintahan mempunyai hak dalam mengelolanya. Tentunya hak ini berasaskan maslahat dari rakyat sang pemimpin tersebut[40]. Sedangkan Dr. Dawabah menambahkan bahwa yang termasuk dalam golongan ini nantinya bisa menjadi sumber pemasukan untuk baitul mal yang kemudian pemerintah menggunakannya untuk hal-hal yang mengandung maslahat umum[41].
2.      Kepemilikan majemuk dari masyarakat
Sudah maklum bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari beberapa orang atau individu. Maka yang dimaksudkan dengan kepemilikan majemuk ini adalah segala jenis sumber daya yang bisa dipergunakan oleh majemuk dari masyarakat dimana tidak ada satu individu yang boleh memilikinya secara pribadi. Diantaranya adalah jalan, air, api, rumput lapang, jembatan[42] dan sumber daya lain yang sejenisnya[43]. Maka dalam bahasa lain bisa diartikan bahwa kepemilikan majemuk di sini adalah sumber daya yang dihasilkan tanpa adanya ikut campur satu orang pun di dalamnya. Selain itu sumber-sumber tersebut bisa didapatkan dengan mudah, ditambah lagi bahwa wujudnya adalah sesuatu yang primer bagi kalangan majemuk[44].
Ada sebuah atsar yang sangat pas untuk menggambarkan posisi pemimpin dari pada kepemilikan umum ini. Umar bin Khattab berkata “barang siapa yang ingin meminta harta (umum) maka hendaklah ia datang padaku. Karena sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan aku penjaga (khâzin) baginya.” Dari ungkapan yang singkat ini setidaknya dapat diambil dua hal. Yang pertama adalah tugas seorang khalifah, yaitu menjaga serta mendistribusikan harta tadi dengan adil. Yang kedua bahwasanya pemerintahan tidak berkepentingan untuk ikut andil dalam masalah produksi. Tugas pemerintah tidak lain memberi pengarahan dan peninjauan[45].
Inilah sistem Islam yang memadukan antara kepemilikan individual dan kepemilikan umum serta membuat batasan dan aturan antara keduanya. Diantara kelebihannya adalah seputar penetapan zakat, kharraj, jizyah, usyur,  dan lain sebagainya. Dan era kegemilangan Islam pada zaman abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Harun ar Rasyid tidak lepas dari peletakan dasar ekonomi Islam yang matang dan rapi serta pelaksanaannya yang penuh amanat. Bahkan diantara syarat untuk menjadi pegawai pajak adalah baik agamanya, amanat, menguasai ilmu fikih dan lain-lain sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al Kharraj milik Abu Yusuf[46].
Tidak heran dengan ketetapan-ketetapan finansial yang berasaskan agama dalam buku al Kharraj menjadikan umat Islam pada masa Abasiyah merasakan kemakmuran yang dahsyat. Tercatat bahwa dari pajak kharraj saja pada masa Harun ar Rasyid mencapai 7 juta dirham dan kemudian meningkat pesat pada masa al Mu’tashim menjadi 30 miliar dirham[47]. Itu baru dihitung dari segi kharraj tanpa memasukkan sumber pendapatan lain dari berbagai macam jenis keuangan publik seperti zakat dan lain sebagainya.



[1]  Dr. Rif’at Audhy, al Mausu’ah al Islâmiyah al ‘Ammah, atas naungan Dr. Mahmud Hamdy Zaqzuq, dengan judul al Iqtishâd al Islâmy, al Majlis al A’lâ li Syu`un al Islâmiyah, Kairo, cet. 2008, hal. 189.
[2]  Ibid, hal. 189
[3]  Dr. Dawabah, op.cit, hal. 26
[4]  Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Rajawali Press, Jakarta, cet. III, 2010, hal. 10
[5]  Fiqh dalam perkembangannya mempunyai 4 periode: masa pembentukan, masa pembangunan dan penyempurnaan, masa taklid dan stagnan, masa kebangkitan. Lihat, Dr.Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ al-Islami, diktat Universitas al-Azhar jurusan syari’ah tingkat 1, hal. 48
[6]  Periode stagnansi dalam Islam terjadi sekitar pertengahan abad ke 4 hijriah, dimana pintu ijtihad ditutup sehingga para ulama hanya bisa bertaklid pada 4 Imam yang telah melahirkan banyak ilmu pada periode pembangunan.
[7]  Diantaranya adalah al Kharraj milik Abu Yusuf, al Iktisâb fî ar Rizqi al Mustathâb milik Muhammad bin Hasan Assyaibani, al Amwal milik Abu ‘Ubaid al Qashim dan berbagai macam karangan lainnya.
[8] Dr. Asyraf Muhammad Dawabah, op.cit hal. 52
[9]  QS. Al Baqarah: 30
[10]  QS. Hûd: 61
[11]  QS. Al Hadid: 7
[12]  Ibid, hal. 57
[13]  Hukum-hukum fiqh tidak akan pernah lepas dari wajib, mandub, haram, makruh, mubah.
[14]  Dr. Rif’at Audhy, Mausu’ah al Hadhoroh al Islamiyah atas naungan Dr. Mahmud Hamdy Zaqzuq, dengan judul at Tasyri’ al Iqtishâdy , al Majlis al A’lâ li Syu`un al Islâmiyah, Kairo, cet. 2005, , hal. 280.
[15]  Dr. Rif’at Audhy, ibid, hal. 276.
[16]  Sebagaimana tersirat dalam firmanNya surat al Qashash ayat 77 “Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”
[17]  Sesuai firmanNya “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al A’raf: 96)
[18]  Hal itu bisa dilihat dari firmanNya “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al Furqan: 67)
[19]  Seperti yang diperintahkan oleh Allah tentang masalah perniagaan di hari Jum’at dalam firmanNya “Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 10)
[20]  Dr. Muhammad Syauqi Finjary, ibid, dengan judul al Hurriyah al Iqtishodiyah, hal. 306
[21]  Menurut Dr. Finjary,  terkadang kedudukan negara bisa menjadi fardhu kifayah seperti pada permasalahan perbaikan jembatan. Dan bahkan terkadang menjadi fardhu ‘ain seperti di saat ketiadaan lembaga pendidikan dan lembaga kesahatan. Lihat kembali ibid, hal. 308
[22]  Sesuai dengan firmanNya surat al Hasyr ayat 7 “supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.”
[23]  Al Qur’an surat al Anbiya` ayat 107 menyatakan “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
[24]  Diantara kalimat yang tertera pada surat kabar tersebut adalah “Pendidikan mental dan akhlaq yang mana Islam berkonsentrasi di dalamnya memiliki pendekatan antara bank dan nasabah dengan cara yang lebih baik dari sebelumnya. Ditambah lagi dengan  prinsip-prinsip kokoh perbankan yang mempunyai spirit khusus, dimana seharusnya dimiliki setiap lembaga keuangan.” Lebih lengkapanya lihat, situs ekonomi Saudi edisi 5626, Sabtu, 7 Maret 2009 (http://www.aleqt.com/2009/03/07/article_202253.html)
[25]  Kalimatnya berbunyi seperti ini “Sepertinya pada masa krisis ini kita membutuhkan untuk lebih banyak membaca Qur’an ketimbang Injil untuk memahami apa yang terjadi dengan bank-bank kita. Karena andai saja para ekonom dan bankir kita memperhatikan apa yang tersirat dari ajaran-ajaran serta hukum Qur’an tidak akan terjadi bencana serta krisis seperti yang kita jumpai sekarang. Karena uang tidak akan pernah melahirkan uang.” Lihat, Dr. Asyraf Muhammad Dawabah, op.cit. hal. 60 atau http://www.challenges.fr/magazine/0135-016203/le_pape_ou_le_coran.html atau ringkasannya di http://www.algerie-dz.com/forums/archive/index.php/t-97017.html
[27]  Dr. Asyraf Muhammad Dawabah, op.cit hal. 61.
[28]  Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah.
[29]  Riwayat lengkapnya berbunyi “Andai kata seorang anak Adam mempunyai 2 lembah yang berisi harta, niscaya mereka akan mencari yang ketiga. Dan tidaklah seorang keturunan Adam itu mengisi lambungnya melainkan dengan debu, dan Allah mengampuni hambanya yang bertaubat.” Lihat kembali Shohih Muslim, Kitabu Zakat, bab Karahatul Hirshi ‘alad Dunya
[30]  Dr. Muhammad Baltagy, al Milkiyah al Fardiyyah fi an Nizhôm al Iqtishâdy al Islâmy, Darussalam, Kairo, 2007, cet. I, hal. 45
[31]  Dalam Shohih Bukhari disebutkan salah satu riwayat berbunyi “celakalah hamba dinar dan dirham”
[32]  Diantara kewajiban yang ada pada kepemilikan individual adalah nafkah, zakat serta hak-hak yang berkaitan dengannya menurut para ulama, denda (diyât), tebusan (kaffârât), upeti, hak-hak tetangga dan hak-hak wali dalam hal yang berkaitan dengan kepemilikan. Lihat, ibid, hal. 169
[33]  QS. Al Baqarah: 188
[34]  QS. Al Baqarah: 279
[35]  Dr. Muhammad Baltagy Op. Cit hal: 46
[36]  QS. Al Baqarah: 107
[37]  Dr. Muhammad Baltagy, op.cit hal. 48
[38]  Dr. Robi’ Mahmud Ruby, al Milkiyah al ‘Ammah fî shodril Islâm wa wazhîfatuha al Iqtishâdiyah wal Ijtimâ’iah, Markaz Sholih Kamil lil Iqtishad al Islamy, Kairo, cet. 2000, hal. 11
[39]  Pembagian ini sebenarnya bukan hanya dilakukan oleh Dr. Robi’, tetapi Dr. Asyraf Muhammad dan juga para ahli ekonom Islam sepakat membedakan jenis kepemilikan umum menjadi dua.
[40]  Ibid, hal. 11
[41]  Dr. Dawabah, op.cit, hal. 69
[42]  Dari Sunan Ibnu Majah Rasul bersabda “al muslimûna syurakâu fî tsalâtsin: al mâ`u, wal kala` u, wan nâru.” (Muslim itu berbaur dalam 3 hal: air, padang rumput dan api)
[43]  Lihat kembali, Dr. Rabi’, op.cit hal. 11
[44]  Dr. Dawabah, op.cit, hal. 68
[45]  Dr. Rabi’, op.cit, hal.
[46]  Setidaknya ada 10 syarat yang disebutkan Abu Yusuf, yaitu: baik agamanya, amanah, menguasai ilmu fikih, pintar, suka bermusyawarah, menjaga harga diri (afîf), berani membela kebenaran, berorientasi akhirat dalam menjalankan kewajiban, jujur dan tidak zhalim. Lihat, Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami Pendekatan al Kharrâj (Imam Abu Yusuf), Ghalia Indonesia, Bogor, cet. I, 2011 hal. 85
[47]  Ibid, hal. 85

Tidak ada komentar:

Posting Komentar